• "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." ( QS. At-Tahrim: 6)

  • "Famaa dzaa a'dal haqqi illadhdholaal". “ Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.”(Yunus:32)

Selasa, 25 Agustus 2009

Meluruskan Kekeliruan Makmum

Sebagai lanjutan dari pembahasan fiqh sebelumnya yakni “Meluruskan Kekeliruan Imam”, Sekarang kami ingin memaparkan kekeliruan yang biasa kita lakukan sebagai makmum. Tapi bacanya agak sabar dikit ya, soalnya poin-poinnya sampai 50 biji..hmm..Selamat Membaca!
Meluruskan Kekeliruan Makmum
oleh Al Ustadz `Aunur Rofiq bin Ghufron


Landasan amal ibadah yang diterima oleh Allah ialah apabila pelakunya muslim, hatinya ikhlas beramal karena Allah dan amatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah. Betapapun ikhlas niatnya karena Allah, tetapi jika amatnya tidak ada tuntunan dari sunnah maka amalnya sia-sia. Sebaliknya, sekalipun amalan itu benar menurut sunnah lagi banyak jumlahnya, tetapi jika hatinya riya’ maka ditolak.
Adapun alasan orang yang mengatakan bahwa amal ibadah tetap diterima selagi tidak ada larangan. Ini adalah kaidahnya orang yang tidak mengerti sunnah sehagaimana yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Kaidah ini bertentangan dengan sabda Nabi:
Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami, maka amalan itu ditolak. (HR. Muslim: 1718).
Dan bertentangan pula dengan kaidah yang berhubungan dengan shalat, Nabi bersabda:
Shalatkah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari: 631).
Maknanya, shalat tidak menerima tambahan atau pengurangan dengan alasan apapun.
Pada beberapa waktu yang lalu telah dimuat pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Imam". Insya Allah kesempatan ini akan dihahas pula pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Makmum" agar shalat kita selaku imam atau makmum benar-benar didasari sunnah dan diterima oleh Allah. Adapun dasar dan kaidah untuk pembahasan ini berpijak kepada kaidah diatas, dengan mengambil fatwa dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan ahli fiqih yang mu’tahar (diakui).
Kekeliruan yang kami maksudkan dalam pembahasan ini, boleh jadi karena dalil nash yang melarangnya, atau karena memang tidak ada contoh dari sunnah. Selain itu, kekeliruan yang kami bahas ini bukan hanya berhuhungan dengan makmum saja, sekalipun ini yang banyak kami ulas, tetapi meliputi kekeliruan imam dan lainnya untuk melengkapi kekurangan pembahasan yang lalu.
Bagian Pertama: Kekeliruan Makmum

1. Melantunkan ‘pujian’ setelah adzan
Kita jumpai sebagian masjid tatkala mu’adzin selesai adzan mereka mengadakan pujian atau membaca anasyid bersama-sama, bahkan dengan suara yang keras. Amalan ini tidak ada tuntunannya dari Nabi
atau sahabatnya.
Dalilnya, dari Anas bin Malik, Rasulullah berkata kepada seorang arab Badui yang kencing di masjid:
Sesungguhnya masjid ini tidak dibenarkan sedikitpun untuk kencing, dan tidak boleh untuk sesuatu yang najis. Tetapi untuk dzikir kepada Allah & shalat dan membaca Al-Quran. (HR. Muslim no 285).
Lembaga Ulama Saudi Arabia menjawab pertanyaan bolehkah melantunkan anasyid (pujian-pujian (seperti lagu lagu dan semisalnya -red ) di masjid:
"Tidak dibolehkan melantunkan anasyid, pujian dan semisalnya di masjid, karena masjid diperuntukkan untuk shalat, berdzikir kepada Allah, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir dm memhaca Al-Qur’an,
mengajar dan memheri fatwa". (Lihat Fatwa Allajnah Ad Daimah 6/304)
2. Menanti shalat dengan obrolan atau sendagurau
Lembaga Ulama Saudi Arabia ditanya:
"Banyak kitajumpai sebagian orang setelah shalat Maghrib mereka tidak segera pulang, mereka menanti shalat Isya’. Namun di tengah penantian ini mereka ngobrol, berbincang-bincang masalah dunia,bahkan kadang kala mengambil radio untuk mendengarkan warta berita, bolehkah perbuatan ini?"
Mereka menjawab:
"Tidak boleh. Berdasarkan surat An-Nur 36-38 bahwa masjid diperuntukkan untuk dzikir, shalat, membaca Al-Quran dan menyampaikan ilmu dinul Islam".
(Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/279)
3. Keluar dari masjid setelah adzan
Terhitung perbuatan maksiat bila keluar dari masjid setelah adzan tanpa ada keperluan yang sangat penting seperti berwudlu atau ke WC dan semisalnya. Dalilnya:
Dari Abu Sya’sa’ dia berkata: Kami pernah duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Ketika muadzin selesai adzan, ada seorang laki-laki bangun be jalan, lalu sahabat Abu Hurairah terus memandangnya sehingga orang itu keluar dari masjid. lalu Abu Hurairah berkata: "Orang itu telah bermaksiat kepada Abul Qasim.".
(HR. Muslim no 665)
4. Meninggalkan shalat tahiyatal masjid
Menurut sunnah, apabila seseorang masuk masjid sebelum imam hadir, hendaknya tidak segera duduk. Tetapi menjalankan shalat dua rakaat terlebih dahulu, yaitu shalat tahiyatal masjid. Dalilnya, dari Abu Qatadah As-Sulami sesungguhnya Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, hendaklah shalat dua rakaat sebelum ia duduk.
(HR. Bukhari: 444; Muslim: 714)
5. Menjalankan shalat sunnah tanpa sutrah.
Banyak kita saksikan ketika makmum menjalankan shalat sunnah tahiyatal masjid atau sunnah qabliyah dan ba’diyah tanpa memperhatikan sutrah atau tabir di depannya. Mereka shalat di tengah atau di betakang tanpa mencari pembatas. Perbuatan ini keliru dan menyelisihi sunnah Rasulullah, sebab sutrah atau tabir untuk orang yang shalat hukumnya wajib.
Dalilnya, dari Musa bin Thalhah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang dari kalian telah meletakkan semisal ujung pelana di depannya, maka shalatlah. Dan tak usah memperdulikan orang yang lewat di belakang sutrah tersebut. (HR. Muslim)
Sabda Nabi (maka shalatlah), menunjukkan bahwa shalat dapat dimulai bila di depannya sudah ada sutrah.

Dan Abu Said AI-Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang di antara kamu akan menjalankan shalat, hendaklah menghadap kepada sutrah (tabir) dan dekatlah dengannya. (HR. Abu Dawud 648 dishahihkan oleh Ibn Baz. Lihat Majmu Fatawa 4/264)

Fungsi sutrah merupakan pembatas bagi orang yang ingin lewat di depannya. Diperbolehkan berlalu di luar sutrah dan dilarang melatui bagian dalamnya (antara sutrah dan orang yang shalat).
Dalilnya, Abu Said berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang di antara kamu telah menghadap sutrah ketika akan shalat, lalu ada yang mau lewat di depannya (antara dia dan sutrah), hendaknya ia mendorong lehernya. Jika enggan, maka perangi dia, karena dia itu setan. (HR. Bukhari: 509; Muslim: 505)
Memahami hadits di atas, berarti orang yang shalat tanpa sutrah di depannya, tidak berhak menghalangi orang yang lewat di depannya.
Orang yang menjalankan shalat hendaknya dekat dengan sutrah. Dalilnya, dari Sahl bin Abi Hatsmah, Nabi bersabda:

Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat menghadap kepada sutrah, hendaklah ia dekat dengan sutrahnya, maka setan tidaklah mampu menggodanya. (HR. Abu Dawud. Albani berkata: Imam Hakim menshahihkannya, Imam Adz-Dzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya)
Adapun jarak antara tempat sujud dengan sutrah semisal berlalunya kambing: Dan Sahl bin Sa’ad ia berkata:

(Jarak) antara tempat sujud Rasulullah dan tembok semisal tempat berlalunya kambing. (HR. Bukhari, Kitabus Shalat: 496)
Sutrah dapat diperoleh dengan cara :
1. Menghadap dinding.
Dalilnya, Bilal berkata: Lalu Rasulullah shalat sedangkan jarak antara berdiri beliau dengan dinding depan (sejauh) tiga hasta. (HR. Imam Ahmad)
2. Menghadap orang berbaring.
Dalilnya, Aisyah berkata: Sungguh aku pernah melihat Nabi sedang shalat aku berada di antara beliau dan arah kiblat, waktu itu aku berbaring di atas tempat tidur.(HR. Bukhari: 511)
Dalil yang lain, ketika kita shalat berjamaah, maka orang di depan kita adalah sutrah kita, baik mereka dalam keadaan berdiri atau duduk.
3. Menghadap tiang dan semacamnya.
Dalilnya: Dari Anas bin Malik, dia berkata: "Sungguh aku pernah melihat kibar sahabat Nabi bersegera menuju tiang-tiang masjid, ketika masuk waktu shalat Maghrib. (HR. Bukhari: 503)
4. Menghadap benda, semacam ujung pelana
Dalilnya, Aisyah berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang tabir di depan orang yang sedang shalat, maka beliau menjawab, "semisal pelana" (HR. Muslim: 500)

Dan lbn Umar, sesungguhnya Rasulullah apabila keluar ingin shalat ied, beliau memerintahkan agar menancapkan semisal ujung tombak di depannya, lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut, sedangkan orang-orang berada di belakangnya. Amalan ini beliau kerjakan pulaketika bepergian. (HR. Muslim: 501)
5. Menghadap kendaraan.
Dalilnya: Dari lbn Umar sesungguhnya Nabi menghadapkan ontanya, Lalu beliau shalat menghadap kepadanya. (HR. Muslim: 502)

6. Menunda iqamat karena makmum masih shalat sunnah
Sebagian makmum melarang orang yang akan qamat, karena masih ada orang yang menjalankan shalat sunnah. Tindakan ini keliru, sebab qamat disyari’atkan ketika imam telah datang.
Dalilnya, dari Abu Qatadah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda: Apabila telah qamat, janganlah kamu berdiri sehingga engkau melihatku, dan engkau wajib mendatanginya dengan tenang. (HR. Bukhari : 638)


7. Bercakap-cakap setelah iqamat
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Berbicara setelah qamat dan sebelum takbiratul ihram apabila berhubungan dengan shalat seperti meluruskan shaf dan semisalnya hukumnya sunnah, tetapi bila tidak ada hubungannya dengan shalat hendaknya ditinggalkan, karena kita sedang persiapan untuk menjalankan shalat."
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz : 4/179)
8. Berjalan tergesa-gesa
Makmum hendaknya tidak berjalan tergesa-gesa atau bahkan berlari untuk menuju ke masjid karena khawatir ketinggalan shalat (masbuk), tetapi hendaknya berjalan dengan tenang. Dalilnya, dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda: Apabila kamu mendengarkan iqamat, hendaklah bejalan untuk shalat, dan wajib bagimu mendatanginya dengan tenang dan janganlah lari terburu-buru, maka apa yang kamu jumpai bersama imam kerjakan, dan yang kurang, sempurnakan. (HR. Bukhari : 636)
9. Melanjutkan shalat sunnah setelah iqamat
Ketika makmum melihat imam telah bertakbiratul ihram, hendaklah menghentikan shalat sunnahnya untuk segera mengikuti shalat berjamaah.
Dalilnya: Dari Abu Buhainah ia berkata: Ketika shalat subuh akan dimulai, Rasulullah melihat seorang laki-laki sedang melanjutkan shalat (sunnahnya) padahal muadzin sedang qamat, Lalu beliau berkata kepadanya: "Apakah kamu ingin shalat Shubuh empat rakaat? "(HR. Muslim : 711)
Dari Abu Hurairah dari Nabi sesungguhnya beliau bersabda: Apabila iqamat telah dikumandangkan, maka tidak diperkenankan shalat kecuali shalat wajib.
10. Enggan memilih shaf pertama
Termasuk kebiasaan yang keliru, ketika makmum mendengar qamat, tidak segera mengisi shaf yang pertama, tetapi mencari shaf di belakang, padahal shaf pertama lebih utama daripada shaf berikutnya.
Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda: Andaikan manusia mengetahui betapa besar pahala orang yang menjawab adzan dan shaf yang pertama, lalu ia tidak memperolehnya melainkan harus mengikuti undian, tentu akan mengikutinya. (HR. Bukhari: 721, Muslim: 437)
11. Tidak merapatkan shaf


Sering kita jumpai makmum ketika menjalankan shalat berjamaah, mereka tidak memperhatikan kerapian shaf, tidak meluruskan dan tidak merapatkannya. Padahal shaf yang kurang rapat akan mengganggu ketenangan shalat.
Dalilnya, sesungguhnya An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sungguh engkau mau meluruskan shafmu atau Allah akan menaruh permusuhan dan kemarahan di hatimu. (HR. Muslim: 436)
Imam Bukhari berkata: "Bab hendaknya pundak menyentuh pundak, kaki menyentuh dengan kaki di dalam pengaturan shaf". An-Nu’man bin Basyir berkata: "Kami melihat salah satu di antara kami menyentuhkan pundaknya dengan pundak temannya." (Lihat Shahih Bukhari Kitab Shalat)
12. Memulai shaf dari kanan atau dari kiri
Sering kita melihat seseorang ketika masuk masjid dan mendapatkan shaf di depannya sudah penuh, dia memulai shaf baru dari ujung kanan atau kiri, padahal menurut sunnah hendaknya memulai dari belakang imam.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Shaf hendaknya dimulai dari tengah di belakang imam. Sedangkan sesudah itu, shaf sebelah kanan lebih utama dari pada sebelah kiri, berdasarkan hadits yang shahih".
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/416)
Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa: "Penyusunan shaf adalah dimulai di belakang imam, selanjutnya memanjang ke kanan dan ke kiri, bukan dimulai dari ujung kanan. Demikian pula shaf berikumya".
(Lihat Fatawa Islamiyah 1/358)
13. Membuat shaf sebelum di depannya penuh
Sering kita jumpai makmum menyusun shaf baru padahal shaf di depannya belum penuh, perbuatan ini menyelisihi sunnah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Dilarang membuat shaf baru sebelum shaf di depannya penuh, dan tidak mengapa mereka mengambil shaf bagian kanan lebih banyak daripada shaf sebelah kiri, dan tidak harus ada keseimbangan. "(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/416)
14. Shalat sendirian di samping kanan belakang imam
Jika makmum laki-laki hanya orang, maka letak shafnya bukan di samping kanan belakang imam sebagaimana menurut kebiasaan yang dilakukan pada umumnya, tetapi di sebelah kanan imam lurus bersamanya. Dalilnya:
Dari Ibn Abbas sesungguhnya ia berkata: Saya tidur di rumah Maimunah istri Nabi, waktu itu Rasulullah tiba gilirannya bermalam di rumahnya, lalu Rasulullah berwudlu, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat (malam). Aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarikku menjadikanku di sebelah kanannya.
(HR. Bukhari: 697; Muslim: 763)
15. Shalat sendirian di balakang shaf
Makmum dilarang membuat shaf sendirian selagi shaf di depannya belum penuh. Dalilnya, dari Wabishah bin Ma’bad: Nabi melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Kemudian memerintahkannya untuk mengulanginya. (HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ no.541. )
16. Memilih shaf yang terputus
Shaf makmum dalam satu baris hendaknya bersambung dengan makmum yang lain, tidak terpisah oleh tiang atau tembok. Kecuali dalam keadaan darurat karena masjid sangat sempit, sehingga terpaksa harus shalat di tempat yang ada. Sahabat Ibnu Mas’ud berkata: "Janganlah kamu menyusun shaf di antara tiang-tiang". Para ahli ilmu seperti Imam Ahmad dan Ishaq membenci barisan shaf antara tiang-tiang. (Lihat kitab AI-Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin hat. 231 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.)
17. Mengeraskan bacaan takbir
Kadang kala kita menjumpai sebagian makmum tatkala imam membaca takbir, makmum pun bertakbir dengan suara yang keras. Padahal tidak ada tujuan membantu mengeraskan takbir imam. Perbuatan ini menyelisihi sunnah.
Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa: Imam disyariatkan mengeraskan bacaan semua takbir agar makmum mendengamya, sedangkan makmum menurut sunnah tidak diperintahkan mengeraskan takbiratul ihram atau takbir intiqal (pindah gerakan), tetapi dengan suara cukup didengar sendiri, bahkan mengeraskan takbir bagi makmum termasuk bid’ah. Lalu membawakan hadits: Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah bersabda: Barang siapa membuat cara baru di dalam urusan ibadah kami yang tiada contoh dari sunnah, maka ditolak. (HR. Bukhari). (Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/340)
18. Tidak segera shalat bersama imam
Sering kita jumpai ketika makmum masbuk, melihat imamnya sedang sujud, tidaklah segera bertakbiratul ihram lalu bertakbir untuk sujud bersamanya, tetapi menunggu imam berdiri. Perbuatan ini menyalahi sunnah.
Dalilnya, dari Anas bin Malik, Nabi bersabda: Sesungguhnya imam itu dijadikan panutan, apabila dia bertakbir, bertakbirlah, dan apabila dia sujud sujudlah dan apabila dia bangun, bangunlah ". (HR. Muslim: 414).
19. Mendahului Imam


Mendahului imam termasuk dosa besar dan berat ancamannya. Dari Abu Hurairah ia berkata: Nabi Muhammad bersabda, Apakah tidak takut makmum yang mengangkat kepalanya sebelum imam, apabila Allah merubah kepalanya menjadi kepala keledai. (HR. Muslim)
Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa, Jika makmum sengaja mendahului imam maka shalatnya batal. Tetapi apabila karena lupa, maka segera kembali untuk mengikuti imam. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah: 7/326)

20. Tidak membetulkan imam ketika keliru
Makmum hendaklah membetulkan ketika salah membaca ayat atau gerakan, jika salah bacaannya dibetulkan bacaannya. Jika salah gerakannya, hendaklah makmum pria membetulkan dengan membaca subhanallah, sedangkan wanita dengan bertepuk tangan.
Dalilnya, dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah bersabda, Hai manusia, mengapa kalian ketika hendak mengingatkan pada waktu shalat, engkau bertepuk tangan? Sesungguhnya tepuk tangan itu untuk wanita, maka barang siapa menjumpai kesalahan pada waktu shalat, hendaklah mengatakan "Subhanallah". (HR. Bukhari)

21. Shalat qabliyah Jum’ah
Makmum usai mendengar adzan pada hari Jum’at, mereka segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah qabliyah jum’ah. Perbuatan ini termasuk bid’ah (tidak ada contohnya dari nabi). Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, Tiada satu dalilpun dari sunnah yang menjelaskan anjuran shalat sunnah qabliyah Jum’ah. Adapun pendapat yang membolehkan karena dikiaskan dengan shalat sunnah qabliyah dzuhur, tidak dapat diterima. (Lihat kitab Assunan wal Mubtada’ah Almutaqa’aliqah Bil Adzkar Wash Shalah: 181)
Ibnul Qayim Al Jauziyah berkata, Barang siapa yang mengira, bahwa setelah adzan Jum’at dianjurkan shalat dua raka’at, dia termasuk manusia yang paling tidak mengerti dengan sunnah. (Zadul Ma’ad 1/432)

22. Makmum keluar sebelum Imam berpaling dari kiblat
Makmum hendaknya tidak mendahului imam kelua dari masjid setelah salam, melainkan bila imam telah berpaling dari kiblat. Imampun hendaknya tidak lama-lama menghadap kiblat setelah salam sebagaimana penjelasan kami yang lalu "Meluruskan Kekeliruan Imam".
Dalilnya, dari Ibnu Abbas ia berkata, Pada suatu hari Rasulullah mengimami kami . Setelah salam, beliau menghadap kepada kami lalu bersabda, Wahai manusia, sesungguhnya aku ini imammu, maka janganlah kamu mendahuluiku ketika aku ruku’, sujud, ketika bangun dan jangan pula mendahuluiku ketika keluar. (HR. Muslim)
Ibnu Taimiyah berkata, "Hendaknya makmum tidak bangun dari tempat shalatnya sehingga imam berpaling dari arah kiblat. "(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 22/205)
23. Mengamini do’a imam sambil mengangkat tangan
Sering kita menjumpai sebagain masjid, ketika imam selesai shalat, imam segera mengomando dzikir dan do’a , sedangkan makmum mengikuti dan mengamininya. Perbuatan ini termasuk bid’ah karena tidak ada contohnya.
Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa, Berdo’a dengan mengangkat tangan setelah shalat wajib, dilaksanakan bersama-sama dengan dikomando oleh imam atau sendirian hukumnya bid’ah, karena Nabi dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya.
Adapun berdo’a setelah shalat tanpa angkat tangan dan tidak dikomandoi oleh imam tidak mengapa, karena ada hadits lain yang membolehkannya. (Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/103)
24. Imam disambut dengan shalawat Nabi
Tatkala imam bangun meninggalkan tempat shalat, makmum segera menyambutnya (mengantarnya -red) dengan shalawat Nabi dan berjabat tangan.
Lembaga Fatwa Saudi Arabia berfatwa: Membaca shalawat Nabi disyari’atkan ketika bertasyahud pada wakti shalat fardhu atau shalat sunnah, dan disyariatkan pula ketika akan berdo’a setiap saat setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, karena membaca shalawat nabi merupakan salah satu penyebab dikabulkan do’a.
(Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/120)
25. Melangkahi pundak orang
Karena kesalahan sebagian makmum yang datang pertama, mereka menjalankan shalat sunnah di sembarang tempat, maka terjadilah kekosongan sebagian shaf yang pertama dan berikutnya, sehingga orang yang datang belakangan, mereka melangkahi pundak saudaranya untuk memenuhi shaf yang kosong, sehingga terjadi pelanggaran yang tidak dibenarkan oleh sunnah.
Oleh karena itu hendaknya makmum yang datang pertama tahiyatal masjid dengan mengambil shaf yang paling depan atau mencari tempat yang tidak mengganggun saudaranya yang datang belakangan, agar mereka tidak melangkahi pundak saudaranya
Dalilnya adalah dari Abu Az-Zahiriyah dia berkata, Aku pernah duduk bersana Abdullah bin Busr pada hari Jum’ah, lalu datang seorang laki-laki melangkahi manusia, sedangkan Rasulullah pada waktu itu sedang berkhutbah, lalu beliau bersabda, "Duduklah,sungguh engkau telah mengganggu (karena melangkahi) dan terlambat."(HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Albani: 155)
26. Bermakmum kepada Imam ahli syirik
Kita dilarang bermakmum dengan imam ahli syirik seperti Imam yang beristighatsah kepada selain Allah, kita wajib mencari masjid lain yang imamnya Ahlus sunnah, jika tidak menjumpainya kecuali orang yang pernah berbuat maksiat, sebaiknya berjama’ah dengan mereka agar kita lepas dari dosa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sebagian sahabat, mereka bermakmum kepada Imam yang zhalim seperti Hajjaj bin Yusuf. Adapun bermakmum kepada orang yang musyrik, hukumnya haram.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Dilarang bermakmum kepada setiap orang musyrik seperti orang yangberistighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, karena beristighatsah kepada selain Allah seperti beristighatsah kepada orang mati, kepada patung, jin dan selainnya termasuk perbuatan syirik. (Majmu’ Fatawa bin Baz 4/396, 400)
27. Lewat di depan orang yang sedang shalat


Sering kita jumpai sebagian jama’ah berjalan di depan orang yang sedang shalat. Perbuatan ini hukumnya haram, kecuali keluar karena berhadas atau mengantuk.
Adapun dalil larangan lewat di depan orang yang sedang shalat yakni, dari Abu Juhaim (Abdullah bin Harits Al Anshari) ia berkata, Rasulullah bersabda, Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat itu tahu betapa besar dosanya, tentu dia lebih menyukai berdiri selama empat puluh (hari, atau bulan atau tahun) daripada lewat di depan orang yang shalat. (HR. Bukhari).
Adapun dalil wajib keluar bagi orang yang mengantuk ketika shalat, dari ‘Aisyah dia berkata, Rasulullah bersabda, Apabila orang itu mengantuk ketika shalat, hendaknya ia pergi, karena boleh jadi dia mendo’akan dirinya jelek sedang dia tidak merasa. (HR. An Nasa’i dishahihkan oleh Al Albani No. 813)

Adapun dalil wajib keluar bagi yang berhadats ketika shalat, dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda, Apabila salah satu di antara kamu menjumpai gelembung di dalam perutnya, ragu-ragu, kentut apa tidak, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau menjumpai bau (kentut). (HR. Muslim)

28. Berjabat tangan setelah shalat


Sering kita jumpai setelah shalat sunnah atau wajib Imam dan makmum berjabat tangan dengan tetangga kanan kiri bahkan dengan jama’ah di belakangnya pula. Perbuatan ini jelas mengganggu orang yang sedang berdzikir kepada Allah, lagi pula perbuatan ini menyelisihi sunnah.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Adapun apa yang diamalkan oleh sebagian manusia, makmum bersegera berjabat tangan dengan imam setelah salam, tidak ada dalilnya. Amalan itu dibenci, karena setelah shalat, dianjurkan berdzikir sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/262)

Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Salman berkata, Menucapkan salam dan berjabat tangan disyari’atkan ketika orang itu datang dari bepergian dan ketika berpisah sekalipun hanya sebentar, baik di masjid ataupun di luar masjid. (Al Qaulul Mubin Fii Akhtha’il Mushallin, hal. 301 )
29. Usai shalat fardhu langsung mengerjakan shalat sunnah
Sering kita jumpai imam atau makmum ketika selesai menjalankan shalat, langsung berdiri melanjutkan shalat sunnah, amalan ini bertentangan dengan sunnah.
Dalilnya, dari Saib bin Yazid bin Ukhti Namir, ia berkata, Saya pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah. Tatkala aku selesai shalat Jum’at, aku segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah. Setelah Mu’awiyah masuk di rumah, beliau mengutus salah seorang untuk memanggilku, lalu Beliau berkata, Jangan kamu ulangi perbuatanmu itu, apabila kamu selesai shalat Jum’ah, janganlah kamu menyambung dengan shalat yang lain sehingga kamu berbicara atau keluar terlebih dahulu. Karena Rasulullah memerintahkan demikian, yaitu hendaknya tidak disambung shalat dengan shalat sehingga kami berbicara atau keluar. (HR. Muslim).

30. Sering Masbuk tanpa udzur
Sebagian makmum ketika mendengar adzan tidak segera berangkat ke masjid, tetapi sering terlambat tanpa udzur. Perbuatan ini menyerupai shalat orang munafiq. Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda, Dan seandainya mereka mengerti betapa besar pahala orang yang bersegera datang ke masjid (untuk berjama’ah), tentu mereka akan berlomba-lomba mendahuluinya. (HR. Bukhari).
Bagian Kedua: Kekeliruan dalam Shalat Secara Umum.
31. Sering bergerak pada waktu shalat
Kita sering menjumpai makmum ketika shalat, dia memutar-mutar jam tangannya, mempermainkan kancing bajunya, geleng-geleng kepala, banyak bergerak, mengelus-elus jenggot dan atau memintal kumis dan semisalnya. Perbuatan ini dilarang karena akan mengurangi bahkan dapat menghilangkan kekhusyu’an pada waktu shalat, padahal Allah berfirman, Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. (QS: Al Mukminun: 12)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Bagi orang yang sedang shalat, hendaknya tidak berbuat sia-sia seperti menggerakkan pakaian, janggut atau yang lain. Bila gerakan ini sering dilakukan, hukumnya haram. Adapun pendapat yang mengatakan apabila gerakan itu dilakukan tiga kali hukumnya batal, pendapat ini lemah dan tidak berdalil. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/424)

32. Ketika shalat melihat ke atas atau ke sana kemari


Apabila sedang shalat hendaknya pandangan mata menundukkan ketempat sujud, tidak meilhat ke kanan atau ke kiri apabali ke belakang, karena perbuatan itu termasuk godaan syetan.
Dalilnya, ‘Aisyah berkata, Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang hukum seorang pria yang menoleh ketika shalat, maka beliau menjawab, "Itu adalah pencurian, syetan sedang mencuri shalat salah satu di antaramu."

Sesungguhnya Anas bin Malik pernah bercerita kepada mereka, bahwa Nabi bersabda, "Mengapa kaum itu tatkala shalat, mereka melihat ke atas." Dia (perawi hadits) berkata: Sunggguh amat keras beliau itu, sehingga beliau bersabda, "Hendaklah kaum itu berhenti, jika tidak mau, akan dicungkil matanya."

33. Menyisingkan pakaian dan rambut.
Ketika shalat dilarang menyisingkan lengan baju atau melipatnya, demikian juga rambut dan baju.

Dalilnya, dari Abdullah bin Abbas sesungguhnya Nabi bersabda, Aku diperintah agar sujud dengan tujuh anggota, yaitu dahi, hidung, dua tangan, dua lutut dan dua kaki, dan aku dilarang menyisingkan rambut dan baju. (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata, Ulama telah bersepakat bahwa ketika shalat dilarang menyinsingkan baju, lengan baju dan semisalnya. (Syarah Muslim 4/209)
34. Sering membersihkan debu di tempat sujud
Pada waktu shalat, kita dianjurkan agar khusyu’ di dalam setiap gerakan. Tidak dibenarkan menggerakkan anggota badan kecuali ada perintah, seperti ruku’, sujud, berdiri, duduk dan sebagainya. Dan diperbolehkan membersihkan sesuatu di tempat sujud ketika shalat sekali saja.
Dalilnya, dari Mu’aiqib, sesungguhnya Rasulullah berkata kepada salah seorang yang meratakan tanah ketika sujud, maka beliau bersabda, "Jika kamu harus berbuat itu, maka boleh hanya sekali." (HR. Muslim)

35. Mengusap wajah setelah shalat
Sebagian umat Islam setelah salam lalu mengusap wajah dengan tangan kanan. Perbuatan ini tergolong bid’ah, karena tidak ada tuntunannya dari sunnah.
Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab,
Tidak ada tuntunannya, tetapi jika mengusap wajah sebelum salam hukumnya makruh. Sebab, Nabi ketika salam pada waktu shalat subuh, pada dahinya terlihat bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utama tidak mengusap wajahnya sebelum salam. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/272)

36. Bertasbih dengan memakai alat tasbih
Membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat atau sebelumnya dengan memakai alat tasbih termasuk perbuatan yang menyelisihi sunnah.
Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa, Berdzikir dan bertasbih dengan tangan itu lebih utama. Kami tidak menjumpai amalan Nabi bahwa beliau bertasbih dengan alat tasbih. Perlu kita maklumi amalan yang paling baik adalah mengikuti sunnah. (Lihat Fatwa Lajnah Ad-Daimah: 7/111)
37. Usai salam membaca tiga ayat surat Ali Imran
Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, Usai salam langsung membaca tiga ayat dari surat Ali Imran khusus setelah selesai shalat Maghrib dan Subuh; kami tidak mengetahui dalilnya dari kutubus sunnah.
[Jika suatu amalan tidak ada dalilnya dari kutubus sunnah (buku-buku hadits / sunnah), maka amalan ini tidak ada contohnya dari Nabi. Dengan kata lain, amalan tersebut termasuk ke dalam bid’ah. -red]
(Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 71)
38. Menambah kalimat istighfar
Kadang kala kita menjumpai imam atau makmum tatkala membaca istighfar yaitu "Astaghfirullah" lalu ditambah dengan "Ya Arhamar raahimiin, irhamnaa" dengan bersama-sama, maka hukumnya bid’ah karena tidak ada contohnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Abdus Salam.
(Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 70
39. Shalat Dzuhur setelah shalat Jum’ah
Mengerjakan shalat Dzuhur setelah menjalankan shalat Jum’ah termasuk perbuatan bid’ah.
Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, Sesungguhnya mengerjakan shalat dzuhur setelah shalat jum’ah tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah walaupun hanya sekali dan tidak pula memerintahkannya, tidak pernah dikerjakan oleh sahabat, atau tabi’in walaupun seorang, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh madzhab empat (yaitu madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hambal. –red ), tetapi diada-adakan oleh pengikut Imam Syafi’i mutaakhirin (generasi yang sekarang ini). (Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 182)
40. Sujud dua kali setelah salam
Kadang kala kita jumpai sebagian orang setelah salam, ia sujud dua kali tanpa sebab. Perbuatan ini menyelisihi sunnah. Imam Abu Syamah dalam kitabnya "Al Ba’its" menerangkan, Sesungguhnya bersujud dua kali setelah shalat adalah perbuatan yang sangat dibenci, karena tidak ada sebab tertentu, dan tidak ada tuntunan dari sunnah. Sujud dilakukan ketika shalat atau sesudahnya apabila lupa atau sujud tilawah usai membaca ayat sajdah. Adapun hukum sujud syukur ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i menyunnahkannya sedangkan Imam Ahmad membolehkannya. (Lihat kitab Islahul Masajid minal Bida’ wal ‘Awaid, oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi: 84)
41. Mengeraskan bacaan tahlil dengan menggelengkan kepala
Berdzikir dan berdo’a dengan menggelengkan kepala termasuk perbuatan bid’ah. Berdzikir dianjurkan agar tenang dengan suara yang lembut. Firman-Nya: Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-A’raf: 55)

42. Keluar masuk masjid tanpa memperhatikan kaki
Imam Bukhari menjelaskan bab "Hendaknya memulai dengan kaki kanan ketika masuk masjid dan lainnya." Ibnu Umar mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan keluar dengan mendahulukan kaki kiri. (Shahih Bukhari: Kitab Shalat)
Dari ‘Aisyah ia berkata, Nabi Menyukai mendahulukan yang kanan dari semua urusan menurut kemampuannya, baik ketika berwudhu, menyisir rambut dan memakai sandal. (HR. Bukhari).

43. Keluar masuk masjid tanpa do’a
Rasulullah menganjurkan setiap orang yang masuk dan keluar masjid hendaknya membaca do’a. Dalilnya, dari Abi Asid dia berkata, Rasulullah bersabda, Apabila salah satu di antara kamu masuk masjid, hendaklah berdo’a, Ya Allah bukakanlah aku pintu rahmat-Mu, dan bila keluar berdo’alah, Ya Allah aku mohon kepada-Mu karunia-Mu. (HR. Muslim).
44. Membungkukkan badan
Sebagian orang ketika akan keluar atau masuk masjid yang di depannya ada orang tua yang sedang duduk, ia lewat sambil membungkukkan badan dan mengulurkan tangan kanan ke bawah. Perbuatan ini tidak mengikuti sunnah, sebaiknya ditinggalkan walaupun dengan alasan menghormati orang tua. Hal ini karena kita tidak menjumpai ahli ilmu (para ulama’ -red) mengamalkannya.
45. Berjama’ah di masjid golongannya
Tidak dibenarkan orang berjama’ah mencari masjid yang sesuai dengan golongannya. Umat Islam dilarang berpecah belah, karena perpecahan adalah fitnah dan penyakit, bahkan awal permusuhan. Tampak diluar mereka ramah tersenyum simpul, tetapi hati mereka bertengkar. Inilah kenyataan yang tidak bisa kita ingkari.

Firman-Nya,

Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS: Ar-Ruum: 31 - 32).
Tetapi jika meninggalkan masjid di desanya karena banyak bid’ahnya dan mencari masjid yang imamnya mengikuti sunnah dan di depan masjid atau sampingnya sunyi dari kuburan, maka (hal ini) termasuk mengikuti sunnah.

46. Pria memilih berjama’ah di rumah
Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Nabi mempunyai keluarga tetapi beliau tidak berjama’ah dengan keluarganya, bahkan beliau berniat membakar rumah kaum muslimin yang tidak menjalankan shalat jama’ah di masjid.

Beliaupun menyuruh orang buta tatkala mendengarkan adzan hendaknya shalat di masjid, maka bagaimana dengan orang yang memiliki penglihatan yang sehat?
Dalilnya dari Abu Hurairah, dia berkata, Datang seorang laki-laki buta kepada Nabi. Dia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tiada seorangpun yang menuntunku ke masjid." Lalu dia minta keringanan kepada Rasulullah agar diizinkan shalat di rumah. Beliau membolehkannya. Tatkala dia berpaling, beliau memanggilnya lalu bertanya, "Apakah kamu mendengar adzan panggilan shalat?" Dia menjawab, "Ya". "Jika begitu, datangilah." (HR. Muslim)
47. Berjama’ah di kantor atau tempat kerja
Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Allah berfirman, Dan ruku’lah beserta orang yang ruku’. (QS Al Baqarah: 43)
Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia ketika ditanya bagaimana hukum shalat berjama’ah di kantor perusahaan? Mereka menjawab: Sudah menjadi ketetapan sunnah baik berupa perbuatan maupun perkataan, bahwa beliau bersama sahabat menjalankan shalat jama’ah di masjid, bahkan beliau berniat akan membakar rumah orang yang tidak berjama’ah di masjid. (Lihat Fatawa Islamiyah: 1/354)
48. Berjama’ah hanya sebagian waktu
Penyakit yang melanda kaum muslimin umumnya di negri kita, ialah malas menjalankan shalat jama’ah, mereka berjama’ah hanya waktu tertentu, seperti shalat maghrib. Sedangkan untuk shalat Isya’ dan subuh mereka merasa keberatan, sebagaimana orang munafiq berat mengerjakannya.
Dalilnya, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: Tiada shalat jama’ah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik melainkan shalat subuh dan isya’, seandainya mereka mengetahui betapa besar pahalanya, tentu dia akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan merangkak. (HR. Bukhari).

49. Merokok di masjid





Kadang kala kita jumpai sebagian masjid, disediakan asbak rokok. Sebelum imam datang, mereka merokok di halaman masjid. Bau rokok ini tentu akan mempengaruhi lingkungan di dalam masjid dan pasti mengganggu jama’ah, karena tidak semua orang senang dengan rokok. Mengganggu hukumnya haram, apalagi mengganggu orang yang beribadah.
Dalilnya, sesungguhnya Jabir bin Abdillah yakin bahwa Nabi bersabda, Barangsiapa makan bawang, hendaklah menjauhi kami, atau menjauhi masjid kami. (HR. Bukhari).
Apabila ada orang makan bawang, beliau menyuruh agar menjauhi masjid, karena baunya yang mengganggu, padahal bawang itu halal dan tidak membahayakan bagi kesehatan, maka bagaimana rokok yang sudah jelas membahayakan kesehatan sebagaimana yang tertulis di luar bungkus rokok dan spanduk di sana sini, bahkan baunya lebih busuk (lebih tidak enak -red) daripada bawang? (Untuk lebih jelasnya bab ini, lihat Fatawa Islamiyah: 1/358 - 359)
50. Berpakaian yang terlarang
Berpakaian yang menutup mata kaki, (atau) tipis sehingga badannya kelihatan, tebal tapi sempit, bergambar (makhluk -red vbaitullah.), terlihat sebagian auratnya ketika ruku’ atau sujud dan sebagainya termasuk menyelisihi sunnah, kita wajib menjauhinya. Lihat pembahasan mengenai "Meluruskan Kekeliruan Imam" bagian satu dan dua.



Sumber : http://www.vbaitullah.or.id Baca selengkapnya..

Meluruskan Kekeliruan Imam

oleh Al Ustadz `Aunur Rofiq bin Ghufron
Meluruskan kekeliruan imam merupakan kewajiban umat Islam yang berilmu. Kekeliruan imam dalam sholat tidak hanya berakibat buruk kepada dirinya saja, tetapi akan mewariskan kesesatan kepada umat. Oleh karenaitu wajib bagi kita semua, apabila kita keliru hendaknya bersenang hati untuk kembali kepada yang kebenaran setelah mengetahui dalilnya. Tidak boleh malu di hadapan manusia hanya karena takut disalahkan atau gengsi karena kehilangan wibawa. Malu dihadapan Allah lebih utama daripada malu di hadapan manusia. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang haq dan memudahkan kita untuk menerima dan mengamalkannya. Dan memperlihatkan kepada kita yang batil dan memudahkan kita untuk menjauhinya.
Sholat merupakan ibadah yang paling pokok setelah seseorang berikrar mengucapkan dua syahadat. Sholat adalah ibadah yang tidak bisa dikurangi atau ditambah, karena Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi contoh langsung kepada sahabatnya. Para sahabat telah melihat sholat beliau setiap hari, dari
takbir hingga salam. Bahkan beliau menyuruh umatnya agar mengikuti sholatnya tanpa menambah atau mengurangi.

Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya, yang juga untuk semua umatnya :
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR Bukhori: Kitabul Adzan) Berpijak dengan hadits di atas, maka kita selaku imam wajib mempelajari tuntunan sholat sesuai dengan sunnah Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beberapa Kekeliruan Imam
1. Berpakaian sangat tipis sehingga nampak auratnya.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ketika ditanya bagaimana hukumnya seseorang yang sholat dengan memakai baju luar sangat tipis berwarna putih, tidak memakai kain dalam, melainkan celana pendek yang menutupi sebagian paha saja, sedangkan kulit badannya terlihat.
Beliau menjawab: "Jika orang itu memakai celana pendek tidak menutupi perut sampai
lututnya, sedangkan baju luarnya tipis sekali, orang itu pada hakikatnya belum menutupi aurot, karena istilah menutupi aurot hendaknya menutupi badan sehingga, tidak kelihatan kulitnya.
Allah berfirman: Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. (QS Al-A'rof: 31)". Rosululloh ketika melihat sahabat Jabir bin Abdulloh datang kepadanya
malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sangat sempit sehingga membentuk semua tubuhnya beliau menasihatinya : "Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai di atas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badanmu". (HR. Bukhari: Kitabus Sholat)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata: "Ulama' telah sepakat, bahwa orang yang sholat sedangkan kulitnya kelihatan (karena pakaiannya yang sangat tipis) padahal ia mampu menutupi
aurotnya dengan pakaian tebal, maka sholatnya tidak sah." (Lihat Fatawa Manorul Islam 11150)
Imam Syafi'i berkata: "Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulimya, maka
tidak sah sholatnya". (Kitab Al-Umm 1/78)

2. Mengenakan pakaian luar yang sangat sempit
Imam hendaknya mengenakan pakaian yang lapang dan luas, tidak boleh sempit bagian Iuamya, karena akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu'an sholat, bahkan akan membatalkan sholat apabila dia memakai kaos dan celana sempit, sehingga apabila ruku' dan sujud kelihatan sebagian kulit punggungnya. Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan berkata: "Barangsiapa sholat memakai celana sempit (press body), sedangkan dia memakai kemeja pendek, pada waktu ruku' dan sujud tertarik kemejanya sehingga kelihatan sebagian punggungnya yang seharusnya tertutup, maka
batal sholatnya. Ini adalah dampak buruk dan memakai pakaian yang diimpor dari orang barat". (Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin 28)

3. Mengenakan pakaian bergambar
Hendaknya pakaian imam bersih dari gambar dan lukisan, agar tidak mengganggu ketenangan orang yang sedang sholat. Dalilnya: Dari Aisyah dia berkata: Rosululloh memakai khomishah (baju yang berjahit dengan benang sutra atau bulu binatang) miliknya. Baju itu banyak lukisan dan gambarnya. Lalu bellau melihat lukisan-lukisannya. Tatkala selesai sholat, beliau berkata: pergilah dengan membawa baju ini, serahkan kepada Abi Jahm, katakan bahwa baju ini tadi mengganggu sholatku, dan bawalah kemari baju tebal (yang tidak berlukisan dan bergambar) milik Abi Jahm bin Khudzaifah. (HR.
Bukhori: Kitabul Libas) Dari Anas ia berkata: 'Aisyah mempunyai tabir (yang tipis berwarna lagi penuh dengan lukisan) dibuat untuk tabir kamar rumahnya. Nabi menyuruh 'Aisyah: Jauhkanlah tabir
ini, sebab gambar dan lukisannya senantiasa mengganggu sholatku. (HR. Bukhari: Kitabul Libas)

4. Isbal (menutup mata kaki)
Imam tidak boleh mengenakan pakaian yang terlalu panjang hingga menutupi mata kaki. Maka hendaknya dia mengenakannya di atas mata kaki atau ditengah betisnya. Dalilnya:
Dari Abu Huroiroh ia berkata: Tatkala ada seorang laki-laki sholat mengenakan sarung yang menutupi mata kakinya. Nabi menyuruh dia pergi agar berwudlu. Orang itu pergi untuk berwudlu lalu datang, beliau menyuruhnva pergi lagi, ada seorang laki-laki hertanya: "Wahai Rosululloh mengapa engkau perintah dia berwudlu lagi?". Bellau berpaling, lalu beliau berkata: "Orang itu shalat tetapi sarungnya
menutupi mata kakinya. Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat seorang laki-laki yang musbil (orang yang melakukan isbal - memakai sarung atau celana yang menutupi mata kakinya).
(HR. Abu Dawud Kitabul Libas, Imam Ahmad, Imam Nasai. Imam Nawawi berkata: "Sanadnya shohih menurut kriteria Imam Muslim") Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bias Hasan menukll fatwa dari Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan hadits di atas: "Maksud hadits ini -wallahu a'lam bishshowab- bahwa menutupkan sarung sampai mata kaki termasuk perbuatan maksiat, setiap orang yang melakukan
kemaksiatan diperintah agar berwudlu dan sholat, karena wudlu itu bisa membakar kemaksiatan". (Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin hal. 37)

5. Merasa paling berhak menjadi imam karena usianya yang lebih tua
Seseorang diangkat (dipilih) menjadi imam bukanlah karena usianya, tapi yang paling bagus lagi tartil bacaan Al-Qur'annya. Dan jika mungkin, yang paling banyak hafalannya. Dalilnya: Dari Abu Mas'ud Al-Anshory ia berkata: Rasulullah bersabda: Hendaklah yang menjadi imam yang pandai bacaan Al-Qurannya. Apabila mereka sama didalam kepandaiannya, hendaklah yang paling mengerti sunnah, jika
mereka sama dalam pengetahuan sunnahnya, hendaknya yang paling pertama hijrahnya, jika hijrahnya bersama-sama, hendaknya yang lebih dahulu masuk Islamnya. Riwayat lain berbunyi: kemudian yang paling tua umurnya". (HR Muslim: Kitabul Masajid wal Mawadli) Lembaga Fatwa'Ulama Saudi Arabia berfatwa: Pilihlah diantara mereka yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling banyak hafalannya. (Fatawa Lajnah AdDaimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta 7/348)

6. Tidak lancar membaca ayat Al-Qur'an dan tidak faham tajwid dan makhrojnya.
Imam hendaknya berusaha untuk mempelajari makhroj dan tajwidul Qur'an, agar bacaannya benar, dapat menambah kekhusyuan dan tidak meresahkan makmum disebabkan tidak benamya bacaan imam.
Nabi bersabda: Orang yang mahir membaca Al-Qur'an bersama-sama dengan malaikat yang mulia yang baik, dan hiasilah Al-Qur'an itu dengan suaramu. (HR. Imam Bukhari Kitabut Tauhid) Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang imam yang tidak baik bacaan ayatnya, beliau menjawab: "Hendaknya kamu berusaha menghafalkan surat-surat AlQur'an dengan tajwid dan memperhatikan makhrojnya. Aku merasa optimis -dengan izin Allah- kamu akan mampu menghafalkannya apabila ada usaha dan kesungguhan. (Majmu' Fatawa Ibnu Baz 4/393)

7. Tidak memperhatikan jarak sutroh (batas tabir) di depannya.
Yang benar, imam hendaknya sebelum bertakbir, berdekatan dengan sutroh (tabir) didepannya. Dalilnya: Dari Sahl bin Abi Hasmah sampailah berita kepada Nabi , lalu Beliau berkata: Apabila salah satu diantara kamu akan melaksanakan sholat menghadap ke tabir (depan), hendaklah dekat dengan tabirnya, syetan tidaklah mampu memutus sholatnya. (HR Abu Dawud. Al-Albani berkata: Imam Hakim menshohihkannya, Imam Adz Dzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya) Dalil jarak antara tempat berdiri Nabi dengan tabir depannya tiga hasta: Bilal berkata: Selanjutnya Rosululloh sholat, sedangkan jarak antara tempat beliau berdiri dengan dinding di depannya adalah tiga hasta. (HR. Imam Ahmad) Dalil jarak antara tempat sujud imam dengan dinding semisal berlalunya kambing: Dari Sahl bin Sa'ad ia berkata: Antara tempat sujud Rosululloh dan tembok semisal tempat yang bisa dilalui kambing.
(HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat)

8. Tidak menghadap lurus ke arah kiblat.
Imam tidak menghadap kiblat, tetapi serong beberapa derajat ke arah kanan (ke arah utara), padahal posisi kiblat sudah benar. Yang benar imam lurus menghadap kiblat. Dari Jabir bin Abdillah ia
berkata: Rosululloh apabila sholat (sunnah) di atas kendaraannya, beliau menghadap ke mana saja kendaraannya menghadap, tetapi apa bila beliau ingin menjalankan sholat wajib, beliau turun dan menghadap ke kiblat. (HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat)

9. Tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.
Sebelum imam bertakbirotul ihram tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Yang benar, sebelum bertakbirotul ihrom hendaknya imam menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Dalilnya: Anas bin Malik berkata: Ketika selesai qomat, Rosululloh menghadap ke arah
kami dengan wajahnya. seraya berkata: Luruskan shofmu, rapatlah, karena aku melihatmu dari belakang punggungku. (HR Imam Bukhori Kitabul Adzan)

10. Hanya melihat shof makmum sebelum bertakbirotulihrom.
Yang benar, imam menghadap kepada makmum dan melihat shof sambil berpesan: sawwu shufufakum (luruskan barisanmu), tarooshuu (rapatkan shofmu), suddul kholal (rapatkan yang masih renggang) dan kalimat semisalnya. Dalilnya: Dari Anas bin Malik dari Nabi beliau berkata: sawwuu shufufakum fa inna taswiyatash shuhuf min iqamatishsholaat (luruskan shafmu karena lurusnya shof termasuk menegakkan shalat) (HR Bukhori Kitabul Adzan. Di dalam riwayat Bukhori yang lain, Nabi bersabda: Aqiimuu shufufakum (luruskan shofmu), tarooshshuu (rapatlah)) Didalam riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda: Haadzuu bainal manakib (rapatkan antara pundak), suddul kholal (tutuplah yang kosong).

11. Melafadzkan niat dengan bacaan usholli
Ketika akan bertakbirotul ihram imam melafadzkan niat (misal : membaca usholli .... dan seterusnya) bahkan kadang-kadang mengeraskannya. Niat itu tempatnya dihati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, sebab ucapan yang pertama pada waktu sholat ialah takbir "Allohu Akbar" sebagaimana sabda Nabi Muhammad: Dari 'Aisyah, dia berkata: Rosululloh memulai sholatnya dengan takbir, selanjutnya beliau membaca alhamdulillahi rabbil 'alamin. (HR. Muslim: Kitabul Sholat) Imam Nawawi berkata: "Niat hendaknya hadir bersamaan dengan membaca takbirotul ihram". (Sifatus Sholatin Nabi oleh Al-Albani: 85) Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata "Melafadzkan niat ketika akan bertakbirotul ihrom tidak ada contoh dari Nabi Muhammad, bahkan perbuatan itu termasuk bid'ah". (Majmu' Fatawa Ibnu Baz 4/202)

12. Berulang-ulang mengangkat kedua tangannya ketika bertakbirotul ihrom.
Yang benar mengangkat tangan ketika bertakbirotul ihram hanya sekali, sebagaimana contoh dari Nabi dan para sahabatnya. Ibnul Qoyyim Aljauzy berkata: "Di antara macam-macam waswas yang merusak sholat ialah mengulang-ulangi sebagian kalimat, seperti ketika duduk bertahiyyat membaca at ..at ..attahi ..attahiyatu, pada waktu salam membaca as.. as ..assaa ..assalamu'al dan ketika bertakbir ak ..ak ..ak ..akbar atau semisalnya. Pengulangan itu pada dzohimya membatalkan sholat. Jika yang melakukan imam maka dia telah merusak sholat makmum. (Ighotsatu Lahfan Min Mashoyidis Syaithon 1/158)

13. Bersedekap di atas lambung kiri
Yang benar adalah bersedekap dengan meletakkan telapak tangan kanan di alas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan kiri, atau di atas lengan tangan kiri, lalu diletakkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kadang kala menggenggam tangan kiri dan kadangkala tidak. Dalilnya: Dari Abu Huroirah dia berkata: Rosululloh melarang meletakkan Iangan di alas lambung ketika shalat. (HR Abu Dawud). Adapun dalil contoh bersedekap menurut sunnah: Selanjutnya Rosululloh meletakkan tangan kanannya di alas tapak tangan kiri, (atau) di alas pergelangan (langan kiri) atau di atas lengan kiri. (HR Abu Dawud Kitahus Sholal. An-Nasai Kitabul lftitah. Ibnu Hibban di dalam shohihnya (485) Al-Albani berkata: sanadnya shahih. ) Lalu beliau meletakkan dua tangannya di atas dada, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab shohihnya: 1/54.

14. Membaca AI-Fatihah terlalu cepat, menyambung ayat dengan ayat yang lain (tidak berhenti setiap ayat).
Yang benar, imam ketika membaca surat Fatihah atau surat yang lain pada waktu sholat hendaknya berhenti setiap ayat. Rosululloh memberi contoh kepada sahabatnya membaca Fatihah ayat demi
ayat, membaca Bismalahir Rahmaanir Rahiim lalu berhenti, Alhamdulillahi rabbil 'alamiin lalu berhenti, Ar-Rahmaanir Rahiim lalu berhenti dan demikianlah seterusnya. demikian pula bacaan beliau untuk setiap surat, beliau berhenti setiap pangkal ayat dan tidak menyambungnya. (Lihat Sifatus Sholatin Nabi oleh Al Albani 96)

15. Membaca robbighfirli seusai membaca Fatihah.
Yang benar, Imam setelah membaca surat Fatihah dengan jahr, hendaknya membaca aamiin dengan suara keras pula. Adapun dalilnya sebagaimana point . Adapun membaca robbighfirli setelah membaca Fatihah termasuk amalan bid'ah.

16. Tidak mengucapkan 'amin' dengan suara keras
Yakni usai membaca Fatihah pada dua roka'at pertama sholat jahr. Yang benar: ketika Imam membaca Fatihah dengan suara keras hendaknya membaca aamiin dengan suara keras. Dalilnya: Dari Wail bin Hujr ia berkata: Rasulullah apabila selesai membaca waladh dhaaalliiin, beliau membaca aamiin dengan suara keras. (HR Abu Dawud: Kitabus Shalat dengan sanad yang shahih)

17. Memanjangkan bacaan takbir
Membaca takbir intiqol (takbir pada saat pindah gerakan shalat) dengan melantunkan suara, seperti: ...aaaaallahu akbar atau ...allaaaaahu akbar atau ..aaallaaaaahu akbaaaaar. Bacaan takbir yang benar ialah allaahu akbar (huruf lam jalalah dibaca dua harokat), baik pada waktu takbirotul ihram atau takbir intiqol, karena bacaan yang seharusnya dibaca pendek lalu dibaca panjang akan merubah makna. Ibnu Hazm berkata: "Tidak dibenarkan bagi imam memanjangkan (melanturkan) bacaan takbir, tetapi hams mempercepat. Tidak dibenarkan ketika ruku', sujud, berdiri dan duduk kecuali harus sempuma bacaan takbimya". (Al Muhalla: 4/151)

18. Tergesa-gesa dalam setiap gerakan, sehingga hilang kekhusu'annya.
Yang benar setiap gerakan hendaknya disertai dengan tuma'ninah, karena Nabi pernah menyuruh orang agar mengulangi shalatnya ketika sholamya terlalu cepat. Beliau bersabda: "...maka apabila kamu ruku', letakkan dua tapak tanganmu di atas dua lututmu, ulurkan punggungmu, kokohkan ruku'mu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari ruku') luruskan tulang rusukmu sehingga kembali tulang itu kepada persendiannya, jika kamu sujud maka kokohkan sujudmu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari sujud) duduklah di atas pahamu yang kiri, selanjutnya kerjakan itu semua setiap ruku' dan sujud. (HR Imam Ahmad: Musnad Al-Kufiyyin)

19. Mengusap wajah dengan tangan setelah mengucapkan salam
Yang benar, setelah salam tidak mengusap muka dengan tangannya, karena tidak ada contoh dari Nabi. Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya tentang hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab:
Tidak ada tuntanannya, tetapi jika mengusap mukanya sebelum salam hukumnya makruh, karena Nabi ketika salam pada waktu sholat subuh, dahinya kelihatan bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utamanya sebelum salam tidak mengusap mukanya. (Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/272)

20. Tidak menghadap kepada makmum setelah salam
Biasanya imam tetap menghadap kekiblat setelah salam atau menghadap ke utara (arah kanan kiblat). Yang benar, setelah salam imam boleh menghadap kiblat sebentar saja untuk istighfar 3 kali dan berdzikir seperti dzikir Nabi dibawah ini: Dari 'Aisyah dia berkata: Nabi apabila setelah salam, beliau tidak duduk melainkan kira-kira membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." (HR Muslim: Kitabul Masajid Wal Mawadli') Syalkhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidak layak bagi imam duduk setelah salam menghadap kiblat melainkan
untuk beristighfar 3 kali dan membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." (Majmu' Fatawa Ibnu Timiyah 22/505) Rosululloh apabila selesai salam, mengbadap kepada makmum, dalilnya: Kemudian beliau salam, lalu beliau menghadap ke arah kami.
(HR Muslim, Kitabul Masajid wal Mawadli') Beliau duduk lama setelah salam menghadap kepada makmum bila ada kepentingan, seperti memberi nasihat dll. Dalilnya: Dari Anas, dia berkata: Rosululloh pernah mengimami kami pada suatu hari, setelah beliau salam beliau menghadap kepada kita, lalu beliau memberi nasihat: "Wahai manusia ... " (HR Muslim Kitabus Sholat).

21. Memimpin dzikir dan membaca Fatihah bersama-sama setelah salam
Yang benar, dzikir setelah sholat diakukan sendiri-sendiri bagi yang berhajat. Lembaga Fatwa `Ulama Saudi Arabia berfatwa: "Sedangkan petunjuk Nabi bahwa beliau berdzikir dan berdo'a sendirian,
beliau tidak pemah mengomando sahabatnya untuk berdzikir bersam-sama. Adapun sebagian manusia membaca Fatihah dan do'a bersama-sama dikamandoi oleh imam setelah shalat termasuk amalan bid'ah." (Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta' 7/122)

Dikutip dari majalah Al-Furqon Edisi 11 Th. I 1423H hal 11 - 12 Baca selengkapnya..

Jumat, 21 Agustus 2009

Birrul Walidain, oleh Ustadz Yazid Jawas

http://www.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Yazid%20Jawas/Birrul%20Walidain Baca selengkapnya..

Jumat, 14 Agustus 2009

Keagungan Puasa Ramadhan

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…”.

Kewajiban Bagi Kaum Yang Beriman
Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380).

Ketika menjelaskan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah mengarahkan pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman. Sebab puasa Ramadhan merupakan bagian dari konsekuensi keimanan. Dan dengan menjalankan puasa Ramadhan akan bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga karena dengan meninggalkan puasa Ramadhan akan mengurangi keimanan. Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya atau malas, apakah dia kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan bahwa orang ini tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena meninggalkan salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380-381).

Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama, karena kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala (dalam hadits qudsi),

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari [6502] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan amalan yang sunnah.” (Syarh Arba’in li An-Nawawi yang dicetak dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 265).

Syaikh As-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pokok yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum perkara-perkara yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang wajib itu lebih dicintai Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 116).

Al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasanya menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah.” (Fath Al-Bari, 11/388).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Amal-amal wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang wajib lebih dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan pokok agung dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan pula oleh para ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Setelah itu beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan yang sangat gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Tafadhul Al-A’maal, hal. 34).

Lebih lengkap silakan baca di:
http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/08/04/keagungan-puasa-ramadhan/ Baca selengkapnya..

Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 4

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah menjelaskan: “Jika dikatakan telah jelas makna ‘Al-Ilah’ dan ‘Al-Ilahiyyah’, lalu bagaimana jawaban terhadap orang yang memaknakannya dengan ‘Yang Maha Kuasa untuk menciptakan’ atau ungkapan-ungkapan selainnya (dalam makna tauhid rububiyyah)? Jawabannya dari dua sisi:
Pertama: Ucapan ini termasuk dari ucapan yang mubtada’ (diada-adakan) dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan demikian. Tidak pula para imam, ulama, dan ahli bahasa sekalipun yang (memaknakan) dengan apa yang kita sebutkan. Sehingga ucapan ini adalah batil.
Kedua: Jika kita menerima makna demikian, maka ini memang salah satu kandungan maknanya dan memang semestinya sesembahan yang benar adalah yang berkuasa menciptakan, atau mengadakan dari yang semula tidak ada menjadi ada. Dan jikalau (sesembahan itu) tidak demikian sifatnya, maka dia bukanlah sesembahan yang benar. Namun bukan berarti bahwa orang yang meyakini bahwa makna Al-Ilah adalah tidak ada yang kuasa menciptakan kecuali Allah, dia telah masuk ke dalam Islam dan telah melakukan sesuatu yang dituju yang menjadi kunci pintu keselamatan (surga). Ini tidak diucapkan oleh seorangpun. Karena ini berkonsekuensi bahwa orang-orang kafir Arab di masa dahulu adalah muslimin. Jika ada sebagian orang belakangan ini menganggap demikian, berarti dia telah salah dan telah dibantah oleh dalil-dalil sam’i (naqli) dan aqli.” (Taisiril ‘Aziz Al-Hamid, hal. 80)
Dari pembahasan ini kita mengetahui bahwa:
1. Memaknakan Laa Ilaha illallah dengan ‘tidak ada yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki kecuali Allah’ adalah makna batil.
2. Kaum musyrikin jahiliyah lebih mengetahui makna Laa Ilaha illallah daripada sebagian kaum muslimin sekarang ini.
3. Kaum musyrikin dahulu meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rizki, dan mengatur alam ini melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
4. Kaum musyrikin jahiliyah dahulu lebih ringan tingkat penyelewengannya terhadap kalimat Laa Ilaha illallah daripada kaum muslimin yang melakukan kesyirikan di masa sekarang ini, ditinjau dari beberapa sisi:
a. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala bila dalam keadaan senang saja. Sedangkan bila mendapatkan malapetaka dan musibah, mereka mengikhlaskan permintaan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun kaum musyrikin (dari kalangan muslimin) sekarang ini, mereka melakukan kesyirikan baik ketika gembira atau mendapatkan ujian dan malapetaka.
b. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pribadi-pribadi yang mulia, seperti para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih, atau dengan sesuatu yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti batu atau pohon-pohon. Adapun kaum musyrikin sekarang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang yang terkenal kerusakan dan kebejatannya di dalam agama. (Kasyfus Syubhat hal. 59 dan seterusnya)

Kedua: Mengeluarkan keyakinan yang benar dari zat segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar hanya kepada Dzat Allah.
Memaknakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan makna ini adalah batil dari banyak sisi:
1. Bertentangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membolehkan kita untuk meyakini sesuatu selain tentang Allah, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ

“Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin.” (At-Takatsur: 5-7)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيُلْغِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِيْنِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ بِالتَّمَامِ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعَتَا لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila seseorang ragu di dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha menghilangkan keraguannya dan kemudian dia membangunnya di atas keyakinan. Jika dia benar-benar yakin, hendaklah dia sujud dua kali dalam keadaan duduk. Jika dia ternyata shalat lima rakaat berarti dua sujud itu telah menggenapkan shalatnya, dan jika dia shalat empat rakaat berarti dia telah mengundang kemurkaan setan.”3
2. Menyelisihi apa yang dipahami oleh Salafus Shalih umat ini.
3. Meyakini sesuatu yang tertangkap oleh indera dan bisa terjadi, tidaklah menyelisihi tauhid.

Ketiga: Tidak ada sesembahan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna ini adalah batil dan tidak benar secara lahiriah, karena makna ini menafikan kenyataan yang ada dalam hidup. Dalam realita, ada sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disembah oleh hamba-hamba-Nya seperti menyembah kuburan, pohon, tempat keramat, batu-batu, jin-jin, malaikat, para nabi atau para wali.

Dari semua pemaknaan yang batil di atas, kita mengetahui betapa jauhnya sebagian kaum muslimin dari aqidah yang benar dan dari ilmu agama.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Hendaklah diketahui, bahwa kalimat yang agung ini (merupakan prinsip dasar agama Islam dan di atasnya dibangun syariat dan hukum-hukum dan akan terbedakan antara yang halal dan yang haram), merupakan dakwah para rasul dan millah (agama) Ibrahim dan millah Muhammad, yang beliau menyeru umatnya kepadanya dan beliau berjihad di atasnya. Hal ini, karena lafadz kalimat ini sendiri menunjukkan kepada dua perkara, dimana tidak akan terwujud keislaman dan keimanan melainkan dengan keduanya, baik dalam bentuk ilmu, amal dan keyakinan.
(Pertama): Menafikan kesyirikan dalam peribadatan; dan,
(Kedua): Berlepas diri dari kesyirikan dan mengikhlaskan ibadah dalam semua bentuknya. (Mulakhkhas Minhajus Sunnah, hal. 154)
Wallahu a’lam.

Catatan kaki :
1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
2 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 20 dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma.
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 864 dan An-Nasa`i no. 1221

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah. Judul asli Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah. URL Sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=407) Baca selengkapnya..

Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 3

Keenam: Memelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah.”2
(lihat Bayanus Syirk wa Wasa`ilihi ‘inda ‘Ulama` Asy-Syafi’iyyah, hal. 6-10 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis, Laa Ilaha illallah Ma’naha Wa Makanatuha, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 36-41)

Pemaknaan yang Keliru dari Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Ikhlas
Dalam pembahasan edisi yang telah lalu, dijelaskan apa sesungguhnya makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar. Sebuah kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat takwa, kalimat Islam, dan kalimat ‘urwatul wutsqa. Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah makna yang benar. Sebuah makna yang singkat namun padat dan memiliki konsekuensi yang demikian banyak. Makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu sehingga mendorong mereka untuk menolak seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memerangi dakwah beliau. Mereka memahami bahwa bila mereka mengikrarkan dan mengucapkan kalimat ini berarti:
a. Harus melepaskan segala keterkaitan dengan sesembahan yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, berupa segala bentuk berhala, patung-patung, atau tempat yang dikeramatkan.
b. Harus meninggalkan segala perbudakan hawa nafsu yang menjadikan mereka gandrung dan kecanduan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti merampok, berzina, membunuh, berjudi, minum khamr, berbuat dzalim, dan lain sebagainya.
Inilah realita orang-orang yang telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang kafir di masa jahiliyah mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah dengan (seruan beliau) kepada kalimat Laa Ilaha illallah, yaitu mengesakan Allah dalam ketergantungan, dan mengingkari segala sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya. Di saat Rasulullah mengatakan kepada mereka: ‘Ucapkanlah Laa Ilaha illallah!’, mereka berkata: ‘Apakah dia akan menjadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu tuhan? Ini adalah (perbuatan) yang sangat mengherankan.’ Jika engkau mengetahui bahwa orang kafir jahiliyah saja mengetahui makna (yang benar tentang kalimat Laa Ilaha illallah), maka amat naif dan sangat mengherankan jika orang-orang yang mengaku Islam namun tidak mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang kafir jahiliyah. Bahkan mereka justru mengira bahwa cukup hanya mengucapkannya dengan lisan, tanpa hatinya meyakini makna-makna yang dikandungnya. Bahkan kalangan ahli pikir di antara mereka meyakini bahwa makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala (yakni membatasi hanya pada makna itu). Sungguh tidak ada kebaikan bagi seseorang (di dalam Islam) jika orang kafir jahiliyah lebih mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah.” (Kasyfus Syubuhat, hal. 17-18)
Di antara pemaknaan batil dari kalimat ini sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan mengatur kecuali Allah.
Pemaknaan seperti ini adalah batil, karena penafsiran ini hanya terbatas pada tauhid rububiyyah. Makna seperti ini telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah, akan tetapi tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak menjadikan harta dan darah mereka terjaga.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Kaum musyrikin menetapkan dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat pencipta, pemberi rizki. Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan melainkan Dia, serta tidak ada yang mengatur kecuali Dia. Dan seluruh langit yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya dan bumi yang tujuh seisinya adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau ingin mengetahui dalil bahwa orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaksikan hal itu, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Katakan siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran, penglihatan dan yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan dan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan berkata: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak takut (kepada-Nya)?’.” (Yunus: 31)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُوْنَ

“Katakan: Milik siapakah bumi dan segala apa yang ada padanya jika kalian mengetahui? Mereka akan mengatakan Allah, maka katakanlah tidakkah kamu mau sadar. Katakan siapakah Rabbnya langit yang tujuh, Rabb ‘Arsy yang agung? Mereka akan mengatakan milik Allah, maka katakanlah tidaklah kalian mau bertakwa. Katakan, di tangan siapakah kekuasaan terhadap segala sesuatu dan dia tempat berlindung dan tidak akan dilindungi jika kalian mengetahui, mereka akan mengatakan: “Milik Allah, lalu kenapa kalian bisa dipalingkan.’” (Al-Mu’minun: 84-89)
[Lihat Kasyfus Syubuhat hal. 10-11]
Memaknakan Laa Ilahaillallah hanya ke dalam makna tauhid rububiyyah (tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan yang mengatur semua urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala) semata adalah jelas kebatilannya. Jika demikian maknanya niscaya:
1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerangi mereka, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta mereka. Bagaimana mungkin beliau akan memerangi kaum yang benar aqidahnya, jika memang maknanya demikian.
2. Kaum musyrikin tidak akan menentang dan memerangi dakwah serta seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalimat Laa Ilaha illallah.
3. Tidak ada hikmah yang besar dalam hal diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi, karena tauhid rububiyyah ini ditetapkan oleh fitrah setiap manusia.
4. Usaha Iblis dan bala tentaranya tidak begitu berarti dalam penyesatan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnul Qayyim menjelaskan: “Apa yang ditunjukkan oleh kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dalam menetapkan hak peribadatan, lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat اللهُ إِلَهٌ (Allah adalah sesembahan). Karena ucapan ini tidak mengandung makna penafian terhadap sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbeda dengan ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Kalimat ini menuntut pembatasan hak ibadah itu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menafikan selain-Nya. Salah besar jika ada orang yang menafsirkan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan ‘Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah semata’.” Baca selengkapnya..

Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 2

Pengaruh لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Tauhid dalam Kehidupan
Para pembaca yang budiman, renungkanlah beberapa buah (hasil) berikut ini, yang nantinya bisa dipetik bila aqidah dan tauhid seseorang itu benar sebagaimana yang telah disebutkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Ini dimaksudkan dalam rangka membongkar kejahatan orang-orang yang berani menentang aqidah, meremehkannya, atau menomorsekiankan aqidah dalam semua aktivitas dakwah, dan sebagainya.
Pertama: Memerdekakan dan mengeluarkan manusia dari perbudakan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb manusia semata.
Hal ini karena tauhid merupakan satu bentuk penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan lawannya yaitu syirik merupakan satu bentuk penghambaan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tauhid akan memerdekakan akal setiap manusia dari segala bentuk khurafat dan memerdekakan hati dari penghinaan serta kerendahan, sekaligus memerdekakan hidup mereka dari segala cengkraman kekuasaan thagut yang disembah.
Tauhid dengan makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu, sehingga mereka tampil memancangkan permusuhan kepada para rasul.
Kedua: Menyatukan/memfokuskan amal seseorang berada dalam koridor yang satu.
Karena, ketika orang yang bertauhid bergerak untuk membangun sebuah amalan dalam detik-detik hidupnya, semuanya terarah untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jiwanya tidak tercerai-berai kepada penghambaan di hadapan tuhan-tuhan yang banyak, dalam keadaan dia berusaha mencari keridhaan semuanya. Fenomena seperti ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kesudahannya di dalam sebuah firman-Nya:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيْهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً

“Allah telah membuat perumpamaan tentang seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang berselisih dan seorang budak yang dimiliki oleh seorang tuan, apakah kedua perumpamaan itu sama?” (Az-Zumar: 29)
Perumpamaan pertama adalah seseorang yang memiliki tuhan yang banyak (yakni orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dia mengalami kebimbangan dalam mengejar keridhaan tuhan yang banyak tersebut. Adapun perumpamaan kedua adalah seseorang yang tidak menyembah kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
Ketiga: Menciptakan rasa aman dalam jiwa dan menanamkan kekuatan batin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُوْنَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Bagaimana aku akan takut kepada sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kalian tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak untuk mendapatkan keamanan (dari malapetaka) jika kalian mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kedzaliman (kesyirikan), merekalah yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk.” (Al-An’am: 81-82)
Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan selalu dalam koridor bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kembali kepada-Nya, karena Dialah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu. Sehingga dengan keyakinan ini, tumbuh rasa aman dan percaya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berpasrah diri dan tentram hatinya. Bagaimana hal ini tidak terjadi, sementara dia melihat manusia sebagai makhluk yang tidak sanggup berbuat untuk diri mereka sendiri, lebih-lebih untuk orang lain. Dengarkan apa yang telah diucapkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam:

يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيْرِي بِآيَاتِ اللهِ فَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku), kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.” (Yunus: 71)
Dan ingatlah ketika Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

فَكِيْدُوْنِي جَمِيْعًا ثُمَّ لاَ تُنْظِرُوْنِ. إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Jalankanlah tipu daya kalian semua terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 55-56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkan jiwa yang telah sampai kepada kepercayaan, ketentraman dan keamanan yang tinggi karena menemukan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merasakan betapa rendahnya kedudukan makhluk. Mereka tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dalam urusan mereka (melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Keempat: Mengokohkan landasan persaudaraan dan persamaan
Islam adalah agama tauhid yang menjadikan seseorang tunduk kepada Rabb mereka. Tidak menjadikan sebagian mereka menjadi tuhan bagi sebagian yang lain, serta tidak menuntut orang lain agar menyembah dan tunduk kepada yang lain. Manusia seluruhnya sama dalam derajat kemanusiaan. Setiap orang yang bertauhid memiliki persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada yang melebihi yang lain kecuali dengan takwa dan amal shalih. Mereka tidak berbeda karena perbedaan suku, ras, atau lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Kelima: Mendapatkan ketinggian dan kejayaan
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِيْنَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Dengan ikhlas kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah. Dan barangsiapa menyekutukan Allah maka dia seakan-akan jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh.” (Al-Hajj: 31)
Ayat ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan ketinggian dan kejayaan, sedangkan kesyirikan adalah kerendahan dan kehinaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah menyerupakan iman dan tauhid dalam ketinggian, keluasan, dan kemuliaan di langit. Langit itu merupakan tempat naik dan tempat turun, darinya turun ke bumi dan kepadanya naik. Dan Allah menyamakan bahwa meninggalkan keimanan dan ketauhidan, seperti sesuatu yang jatuh dari langit ke tempat yang paling rendah dibarengi dengan rasa sempit yang sangat dan sakit yang bertumpuk-tumpuk, diikuti dengan sambaran burung pada setiap anggota badannya. Lalu setan mencabik-cabiknya, yang dikirim oleh Allah untuk menggiring dan memindahkannya menuju negeri kebinasaan. Kemudian Allah mengirim angin yang menghempaskannya ke tempat yang amat jauh. Itulah jelmaan hawa nafsunya yang akan melemparkan dirinya ke tempat yang rendah dan jauh dari langit.” (I’lamul Muwaqqi’in, hal. 118) Baca selengkapnya..

Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 1

Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
.: :.
Barangkali di antara kita ada yang pernah melontarkan ucapan: “Kenapa sih kita membicarakan permasalahan tauhid terus? Apa tidak ada tema lain yang lebih menarik?” Bagi orang yang belum paham, bisa dimaklumi bila ia mengeluarkan kalimat seperti itu. Namun sangat tidak pantas bila kalimat tersebut muncul dari orang yang telah memahami pentingnya tauhid bagi seorang muslim, yang menunjukkan bahwa ia meremehkan permasalahan yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para nabi ini.

Telah dimaklumi bahwa poros dakwah para nabi dan rasul, serta sebab mereka diutus adalah untuk tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam banyak firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan-Ku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan tidak ada sesembahan bagi kalian selain-Nya’.” (Al-A’raf: 59)

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada kaum ‘Ad Kami mengutus saudara mereka Hud dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 65)

وَإِلَى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Tsamud kami mengutus saudara mereka Shalih dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 73)

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Madyan Kami utus saudara mereka Syu’aib dan dia berkata: ‘Hai kaumku sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 85)
Karena permasalahan tauhid pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan kitab-kitab, dan karenanya pula manusia diciptakan.

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah yang Esa dan tidak ada sesembahan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At-Taubah: 31)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Dari sini kita mengetahui bahwa:
1. Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Maka berilmulah kamu tentang Laailahaillallah.” (Muhammad: 19)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul agar mereka (memerintahkan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut’.” (An-Nahl: 36)
2. Para nabi memulai dakwah mereka dari sisi tauhid, sehingga tauhid merupakan poros dan tujuan dakwah mereka. Rasul terakhir, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggal di kota Makkah selama 13 tahun menyeru kaumnya kepada tauhidullah dan mendidik para shahabat di atasnya.
3. Al-Qur`an telah menjelaskan kedudukan tauhid dalam banyak tempat dan menjelaskan pula bahaya dari lawannya yaitu syirik, baik terhadap individu ataupun jamaah. Dan kesyirikanlah yang telah menyebabkan kehancuran hidup di dunia dan di akhirat.
4. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan dan mengarahkan para shahabat agar memulai dakwah mereka dengan menyerukan kepada tauhidullah. Sebagaimana perintah beliau kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.”
Di dalam sebuah riwayat disebutkan:

إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ

“Sampai mereka mentauhidkan Allah.”1
5. Tidak diperbolehkan bagi siapapun dan jamaah apapun untuk mengentengkan atau meremehkan permasalahan tauhid.
6. Siapapun dan jamaah apapun bila menganggap enteng permasalahan tauhid mesti akan mengalami kegagalan dan kebinasaan, cepat atau lambat.
7. Muara dari semua kerusakan di muka bumi adalah kerusakan aqidah dan tauhid, sebagaimana sumber dari segala kebaikan di dunia dan di akhirat adalah karena kebagusan aqidah dan tauhid.
(Lihat Al-Firqatun Najiyah hal. 9, 31 dan 32, Asbab Dha’fil Muslimin Amama ‘Aduwwihim karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Manhajus Salaf Fil ‘Aqidah karya Dr. Shalih bin Sa’d As-Suhaimi hal. 6) Baca selengkapnya..

Kamis, 13 Agustus 2009

JANGAN TAKUT BERJILBAB (lanjutan)

Jilbab sesuai syari'at

Kalo dikembalikan lagi ke yang punya bahasa, dalam hal ini bahasa Arab, jilbab adalah kain longgar dan panjang yang menjulur hing-ga menutup kaki. Bentuknya seperti lorong dan tidak ada potongan di tengahnya, dan menutupi pakaian yang biasa kamu pake sehari-hari di rumah. Wah…nggak modis dong! Modis atau nggaknya tergantung kamu memodifikasinya. Kalo kamu gaul, banyak banget model jilbab yang oke tapi tetep syar'i. Pokoknya inti berjilbab (yakni mengenakan pakaian yang tebel dan longgar, serta panjang sampe menutupi mata kaki) tetep nggak boleh ditinggalkan.

Lho bukannya jilbab itu kain yang sering digunakan untuk menutup rambut? Walah, kamu ternyata kuper en kupeng juga ya? Itu mah namanya khimar, Sayang. Kalo bahasa Indonesianya sih kerudung. Coba kamu buka QS an-Nur: 31. Allah Swt. berfirman: “…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…”

Nah, khimar atau kerudung ini juga bukan hanya menutup kepala aja, tapi harus sempurna menutup telinga, leher hingga menjulur menutup dada. Jadi nggak ada yang namanya kerudung gaul dengan mengikatkan ujung-ujungnya di belakang leher dan tidak menjulur sampe ke dada. Kalo dada masih belum tertutup, memang disebut berkerudung, tapi itu belum sempurna. Kamu perlu ngeh dong, bahwa busana muslimah itu adalah jilbab dan juga kerudung. Dipake bersamaan kalo keluar rumah or di rumah tapi ada pria asing yang bukan mahram kamu. Oke?

Jaim dong!

Yup, kamu harus jaga imej, alias omongan dan perbuatan kamu kudu mencerminkan jati diri seorang muslimah. Kamu yang dulunya suka ngomong ceplas-ceplos tanpa peduli perasaan orang lain, sekarang kudu dipikir dan ditata dulu. Kamu yang dulunya suka ketawa ngakak, sekarang mulai belajar untuk lebih sopan. Kamu yang hobi pulang sekolah boncengan sama cowok, yang suka ngerumpi, yang suka jalan-jalan di mal sekadar cuci mata, en so on, maka itu semua kudu dibenahi. Ma-lu dong, berjilbab tapi tetep norak. Bukan kamu aja Non yang bakal kena getahnya dengan sikap-sikap negatif di atas, tapi nama besar jilbab dan Islam bisa ternoda (cie…Rinso ‘kali).

Berubah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi juga bukan sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Ketika kamu memutuskan untuk berjilbab, pastikan itu semua karena kesadaran dan bukan hanya ikut-ikutan tren dan mode. Kalo hanya sekadar asal ngikut, kena cobaan dikit aja udah lepas tuh jilbab dari tubuhmu. Balik lagi deh jadi cemet alias cewek metal.

Iman itu kan bisa naik bisa turun, karena itu kamu kudu cari lingkungan yang mendukung keputusan kamu berjilbab. Apalagi di masa awal yang rentan banget sama godaan. Gabung deh ama temen yang udah baik-baik. Ibaratnya kamu temenan ama orang yang jualan minyak wangi, kamu akan ketularan wanginya. Kalo kamu berteman dengan orang yang baik, maka kamu akan ikutan baik. Pokoknya, akan ada orang yang mengingatkan kamu dalam ketakwaan.

Apalagi kalo keputusanmu berjilbab diiringi rajin ngaji. Wuih…ditanggung te o pe be ge te, alias top banget. Kamu yang semula merasa nggak siap jadi terdorong untuk segera mengenakan jilbab sesegera mungkin. Cobaan dan rintangan nggak akan menyurutkan keputusanmu tapi semakin mengokohkannya. Ibarat pohon yang akarnya kuat, angin topan sedahsyat apa pun nggak bakal bikin kamu jatuh. Oke deh, semakin mantap untuk berjilbab kan? So, berjilbab? Siapa takut!

Di tulis oleh ukhti [ria]
Semoga Allah menganpuni dosa2nya , keluarganya , dan kaum muslimin seluruhnya..Amiin Baca selengkapnya..

JANGAN TAKUT BERJILBAB

Takut? Emangnya uji nyali? Nggak cuma uji nyali aja yang bisa bikin orang takut, berjilbab pun ternyata masih banyak yang pada takut. Mulai dari takut dicemooh, takut nggak bisa bebas beraktivitas, takut gerah, takut sulit dapat pekerjaan hingga takut nggak dapat jodoh. Wasyah!

Padahal kalo dipiki-piki , jilbab adalah suatu gaya berpakaian yang lagi tren saat ini, lho. Emang sih beberapa tahun yang lalu, jarang banget kita nemuin cewek berjilbab. Tapi saat ini hampir di setiap sudut meja, eh, kota banyak muslimah yang sudah mulai sadar untuk berjilbab. Di sekolah-sekolah baik yang berbasis Islam atau pun umum, perguruan tinggi negeri dan swasta, tempat-tempat kursus hingga di pasar, mal, dan pabrik-pabrik, jilbab mulai marak. Bahkan di perkantoran yang dulunya jarang banget didapati busana muslimah ini, kini hampir di setiap kantor bisa dijumpai wanita muslimah yang berjilbab. Tuh kan, keren nggak sih?

Tapi ternyata di balik hingar-bingar cewek berjilbab, itu belum semuanya mau mengenakannya, sobat. Why? Karena banyak di antara mereka yang meskipun mengaku Islam, tapi masih juga enggan untuk berjilbab. Banyak sih alasan klise yang bakal dijadikan senjata andalan. Mulai dari pendapat yang bilang kalo jilbab tuh busana yang nggak gaul, ribet, dan bawaannya gerah mulu, hingga yang paling sering muncul nih, nggak siap. Nggak siap? Wah, macam mana pula ini?

Bahkan ada juga yang mau pake jilbab asal dengan syarat dibeliin mobil sedan keluaran terbaru. Walah! Eh…tapi ini beneran ada lho.

Tapi jangan salah, kita kudu bersyukur juga, karena ternyata masih ada sodara kita yang sudah niat hati sih pingin berjilbab tapi apa daya nggak boleh sama ortu. Dengan alasan kayak anak udik-lah, entar sulit dapat kerjaan-lah, lama dapat jodohnya de el el. Ortu punya kuasa untuk melarang anaknya berjilbab. Gimana nggak, kalo larangan itu disertai ancaman bakal distop uang SPP dan uang saku, bahkan mungkin juga distop nggak boleh aktif di rohis (tempat dia sadar tentang wajibnya jilbab). Lalu gimana dong cara untuk meyakinkan ortu agar dibolehin pake jilbab?

Jalin komunikasi yang baik

Kalo ortumu adalah orang awam yang belum ngeh terhadap ajaran Islam, jangan ngambek dulu ketika ortu ngelarangmu untuk berjilbab. Namanya juga belum tahu Neng.

Nah, kalo persoalannya karena ortumu belum ngeh dengan Islam, maka seperti kata pepatah, tak kenal maka ta'aruf alias kenalan dulu. Kenali Islam dan aturannya. Tugas kamulah menyampaikan ini dan itu tentang ajaran Islam, khususnya tentang jilbab kepada ortumu. Siap kan? Harus dong ya.

Sebab, kamu udah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah dan mendapat berbagai ilmu, termasuk tentang wajibnya jilbab. Itu sebabnya, saatnya kamu yang memahamkan ortu tentang masalah ini. Jangan karena nggak boleh berjilbab, terus kamu antipati sama ortu dan dendam lagi. Nggak baik itu, Non.

Sobat muda muslim, ortu melarang pasti ada alasannya dong. Nggak ujug-ujug marah bin nepsong begitu. Jadi, komunikasikan dulu sama ortu. Bila perlu, dan kayaknya sih perlu banget, tanyakan alasan beliau ngelarang kamu berjilbab. Hehehe.. sekadar kamu tahu aja dan coba nyocokkin dengan fakta di lapangan, biasanya sih alasan ortu melarang kita-kita berjilbab yang paling sering muncul adalah ketakutan. Takut kalo kamu sebagai anak perempuannya nanti sulit dapat kerjaan. Pikir mereka, udah disekolahkan mahal-mahal cuma mau jadi Bu Nyai , begitu seringnya anggapan mereka terhadap jilbab.

Ketakutan yang kedua, khawatir anaknya sulit dapat jodoh karena terhalang oleh jilbabnya. Ketiga, ortu malu punya anak berjilbab karena kebetulan pengalaman ortumu nemuin anak berjilbab tuh malu-maluin. Duileee.. sampe segitunya ya? Hehehe

Kalo alasan pelarangan jilbab sudah diketahui kayak gini, sekarang kewajiban kamu untuk memahamkan ortumu. Bisa dicoba dengan ngejelasin tentang konsep rizki berkaitan dengan pekerjaan, atau pun jodoh yang memang itu semuanya tak ada kaitannya dengan berjilbab or nggaknya seseorang. Sebab, banyak juga tuh mereka yang nggak berjilbab dan berpakaian mini yang keluar masuk kantor melamar kerjaan tapi nggak dapat-dapat (kasihan banget kan?). Sebaliknya banyak juga tuh yang berjilbab karena kemampuan dan prestasinya malah bisa jadi dosen, guru, dokter, insiyur, wartawan, penulis, ahli kimia dll. Jadi, tulalit banget kalo ngata-ngatain bahwa jilbab penghambat dapat kerjaan.

Begitu juga dengan jodoh. Berapa banyak wanita-wanita seksi yang masih melajang di usia tua padahal mereka tidak berjilbab. Sebaliknya banyak juga muslimah berjilbab yang masih muda usia justru udah mendapatkan jodoh karena ketaatannya pada hukum Allah. Tolong yakinkan ortumu dengan janji Allah bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, begitu sebaliknya. Sehingga tak ada alasan lagi bagi ortumu untuk melarang berjilbab bila mereka sudah paham. Oya, jelaskan juga bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita muslimah yang nilainya seperti wajibnya sholat. Catet itu. Bila perlu ditebelin dan digaris bawah biar inget.

Kalo ada yang reseh?

Mau berbuat baik itu memang nggak mudah, sobat. Pasti ada aja suara-suara miring ketika kamu pertama kali berjilbab. Ada yang nganggep kamu sok alim, nggak modern, primitif, iseng manggil dengan gelar Bu Haji , atau bahkan yang parah adalah mengucilkan kamu dari pergaulan. Terus gimana dong?

Kalo persoalannya mereka yang reseh, berarti masih ada celah untuk menasihati, maka jangan ragu untuk ngasih nasihat kepada mereka. Katakan bahwa dengan berjilbab, akan memperjelas posisi seorang wanita. Kamu bisa jelasin bahwa dengan berjilbab, seorang cewek tuh nggak hanya dinilai dari fisiknya semata (emang pelajaran olahraga pake acara penilaian fisik?), tapi cewek tuh juga punya kemampuan lain yang lebih layak dinilai. Kemampuan otaknya, prestasi belajarnya, keahlian di bidang yang ditekuninya, dan keterampilan dalam bidang yang lain juga yang nggak melulu cuma pamer fisik. Selain tentunya memiliki akhlak yang baik juga dong. Oya, kamu bisa membe-rikan penekanan khusus bahwa berjilbab adalah kewajiban bagi semua cewek yang mengaku muslimah dan mukminah. Itu sebabnya, berdosa bagi yang nggak mau melaksanakan kewajiban menutup aurat ini.

Sobat muda muslim, kalo ada teman kamu yang nyindir ketika kamu pake jilbab dengan nyebutin kuno dan primitif, kamu bisa bilang ke doi. “Emangnya ada jaman primitif pake baju menutup aurat dan lengkap seperti jilbab? Wong jaman itu belum ditemukan kain, boro-boro menutup aurat.” Betul nggak seh?

Sebaliknya, jelaskan bahwa mereka yang nggak berjilbab dan menutup aurat itulah yang layak mendapat sebutan masih primitif. Gubrak!

Why? Karena banyak cewek yang pake baju yang kurang kain or pake baju adeknya yang masih SD. Gimana nggak, kalo bajunya ukuran kecil kan auratnya jadi bebas terlihat sama siapa pun. Mungkin ada teman kamu yang kemudian beralasan, “ini kan modern”

Nah, inilah alasan yang dibuat-buat. Karena sejatinya ini soal sudut pandang aja. Mungkin bisa dibilang perbedaannya hanyalah karena keprimitifan itu dibungkus dengan slogan yang bernama modern. Padahal intinya mah tetep aja primitif, tul nggak?

Jurus terakhir, yah…cuekkin aja lagi. Kalo dalam hal kebaikan kayak gini, EGP aja, Emang Gue Pikirin . Yang penting tuh apa dan gimana hukum Islam memberi aturan dalam segala hal, khususnya berbusana. Kalo kamu pusing dan selalu dengerin orang lain tentang keputusanmu berjilbab, kamu nggak bakalan bisa maju. Yakin deh.

Terus kamunya sendiri juga harus yang bener ketika memutuskan berjilbab. Masa' berjilbab bin menutup aurat tapi kayak lontong. Itu tuh, yang tertutup tapi semua lekuk tubuhmu keliatan, ya percuma tak bergun, alias percuma tak berguna Neng. Jangan sampe pake jilbab tapi gak ngerti definisi dan nggak paham yang sesuai syariat itu kayak apa.

bersambung... Baca selengkapnya..

SETELAH ADA HADITS SHAHIH, TIDAK BOLEH MENGATAKAN MENGAPA ?

Oleh : Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi


Diriwayatkan dari Utsman bin Umar, ia berkata : "Datang seorang laki-laki kepada Imam Malik untuk bertanya kepadanya tentang suatu masalah, maka Imam Malik berkata kepada laki-laki itu : 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bagini dan begitu', lalu laki-laki itu berkata : 'Bagaimana pendapatmu ?'. Maka Imam Malik menjawab dengan firman Allah.
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". [An-Nuur : 63]
Diriwayatkan dari Ibnu Wahb, ia berkata : Imam Malik mengatakan : "Suatu fatwa yang telah difatwakan kepada manusia maka tak satupun manusia boleh mengatakan : "Mengapa engkau berfatwa seperti ini", melainkan cukup bagi mereka saat itu untuk mengetahui riwayat dan mereka rela dengan riwayat (hadits) itu".

Diriwayatkan dari Ishaq bin Isa, ia berkata : Aku mendengar Malik bin Anas mencela perdebatan dalam perkara agama, ia mengatakan : "Setiap kali datang kepada kami seseorang yang lebih pandai berdebat dari pada orang lain, maka kami membantah dengan apa yang dibawa malaikat Jibril 'Alaihis Salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Diriwayatkan dari Ibnu Al-Mubarak, ia berkata : "Hendaknya yang engkau jadikan sandaran adalah atsar, dan ambillah dari fikiran apa yang dapat menafsirkan hadits itu untukmu"..

Diriwayatkan dari Yahya bin Dharis, ia berkata : Aku menyaksikan Sufyan ketika datang kepadanya seorang laki-laki, lalu laki-laki itu berkata : "Apa tuntutanmu kepada Abu Hanifah ?" Sufyan berkata : "Memangnya ada apa dengan dia, sesungguhnya aku telah mendengarnya berkata : "Aku berpegang kepada Kitabullah, jika tidak aku temui, maka aku akan berpegang pada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika tidak ada aku temui dalam Kitabullah dan tidak pula dalam Sunnah Rasul, maka aku berpegang pada pendapat para sahabat beliau, aku akan mengambil pendapat di antara mereka yang aku kehendaki dan aku akan meninggalkan pendapat diantara mereka yang aku hendaki. Sedangkan jika perkara itu berakhir pada Ibrahim, Asy-Sya'bi, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Ibnu Al-Musayyab dan beberapa orang lainnya yang berijtihad maka saya akan berijtihad pula sebagaimana mereka berijtihad".

Diriwayatkan dari Ar-Rabi', ia berkata : Pada suatu hari Imam Syafi'i meriwayatkan suatu hadits, maka berkatalah seorang laki-laki kepadanya : "Apakah engkau berpegang pada ini wahai Abu Abdullah?", maka berkata Imam Syafi'i : "Jika diriwayatkan kepadaku suatu hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpegang kepadanya, maka aku bersaksi kepada kalian bahwa akalku telah hilang".

Diriwayatkan dari Ar-Rabi', ia berkata : Aku mendengar Imam Syafi'i berkata : "Jika kalian dapatkan dalam kitabku (tulisanku) sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka berpeganglah kalian kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tinggalkanlah apa yang telah aku ucapkan".

Diriwayatkan dari Mujtahid, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-(Nya)". [An-Nisaa : 59].
Ia berkata : "Kepada Allah artinya adalah kepada Kitabullah, sedangkan kepada Rasul artinya adalah kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Darimi, dari Abu Dzar, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar kita tidak dikalahkan dalam memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar dan agar kita mengajarkan As-Sunnah kepada mausia".

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Pelajarilah As-Sunnah, ilmu fara'idh dan ilmu membaca sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur'an".

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia berkata : "Wahai menusia sekalian hendaklah kalian mempelajari ilmu itu sebelum ilmu itu diangkat, karena dianggkatnya ilmu adalah dengan dimatikannya para ahli ilmu (para ulama). Jauhilah oleh kalian perbuatan baru (bid'ah), dan hendaklah kalian berpegang pada yang lama (As-Sunnah), karena sesungguhnya pada akhir kehidupan umat ini akan ada golongan-golongan manusia yang mana mereka menduga bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah tetapi sebenarnya mereka telah meninggalkan Kitabullah di belakang punggung mereka". [Hadist Riwayat Darimi]

[Disalin dari buku Miftahul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia KUNCI SURGA Menjadikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Sebagai Hujjah oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi terbitan Darul Haq, hal. 108-111 penerjemah Amir Hamzah Fachruddin] Baca selengkapnya..