Pertama-tama, haruslah kita mengetahui untuk apa al-qur'an itu kita manfa'atkan.
Allah ta’ala telah berfirman tentang Al-Qur’an :
إِنّ هَـَذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشّرُ الْمُؤْمِنِينَ الّذِينَ يَعْمَلُونَ الصّالِحَاتِ أَنّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” [QS. Al-Israa’ : 9].
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لّيَدّبّرُوَاْ آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أُوْلُو الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” [QS. Shaad : 29].
وَنُنَزّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظّالِمِينَ إَلاّ خَسَاراً
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” [QS. Al-Israa’ : 82].
Dan masih banyak lagi ayat yang lain yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk, rahmat, obat penawar, dan jalan selamat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Sudah barang tentu bahwa segala hal yang menjadi tujuan diturunkan Al-Qur’an ini akan bermanfaat bagi manusia bila mereka membacanya, men-tadabur-inya (merenungkan/menghayati), serta mengamalkan segala kandungannya.
Al-Qur’an tidak akan banyak bermanfaat jika hanya sekedar dimiliki, dipajang, dijadikan hiasan [yakni dengan kaligrafi-kaligrafi yang tentunya kita tidak dapat mengambil manfaat dari kaligrafi tersebut karena sulitnya kita untuk dapat membacanya, begitupun dalam hal ini, seperti menjadikannya sebagai ringtone, yang tidak menempatkan al-qur'an pada manfa'atnya yang sebenarnya], atau disimpan di dalam rumah.
Tidak dipungkiri bahwa Al-Qur’an mempunyai fadlilah (keutamaan) yang cukup banyak. Termasuk dalam hal ini adalah dapat melindungi diri serta mengusir gangguan syaithan. Melalui perantaraan (wasilah) apa fadlilah tersebut didapatkan? Dengan membacanya (dan mengetahui maknanya) atau sekedar memajangnya di dinding dan di atas pintu ? Tentu kita semua memahami bahwa fadlilah tersebut akan kita dapatkan jika kita membacanya.
Råsulullåh shållallåhu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَأْخُذُ مَضْجَعَهُ يَقْرَأُ سُوْرَةً مِنْ كتَابِ اللهِ إِلا وَكَّلَ اللهُ بِهِ مَلَكاً فَلاَ يَقْرَبَهُ شيْءٌ يُؤْذِيْهِ حَتَّى يَهُبَّ مَتَى هَبَّ
”Tidaklah seorang muslim yang mengambil tempat pembaringannya lalu membaca satu surat dari Kitabullah kecuali Allah mengutus seorang malaikat. Maka tidak ada sesuatu yang mendekatinya dapat menyakitinya hingga ia bangun kapan saja ia terbangun”
[HR. Tirmidzi no. 3407. Sanadnya dla’if menurut Asy-Syaikh Al-Albani, akan tetapi dihasankan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam komentarnya terhadap kitab Al-Adzkar].
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌُ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِيْنَ تَمْسِي وَحِيْنَ تُصْبِحُ ثَلاثَ مَرَّاتٍِ تَكْفِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍِ
”Surat Al-Ikhlash dan Al-Mu’awwidzatain (QS. Al-Falaq dan An-Naas) jika dibaca pada waktu sore dan pagi hari sebanyak tiga kali, akan mencukupimu dari segala sesuatu”
[HR. Abu Dawud no. 5082, An-Nasa’i 8/250, At-Tirmidzi no. 3575, dan Ahmad 5/312; hasan shahih].
لا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
”Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan itu akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah”
[HR. Muslim no. 780].
من قالها حين يمسي أجير منها حتى يصبح ومن قالها حين يصبح أجير منها حتى يمسي
”Barangsiapa yang membaca ayat Kusi pada waktu sore hari, maka ia dijaga dari gangguan jin hingga pagi hari. Dan barangsiapa yang membacanya di waktu pagi hari, maka ia akan dijaga hingga sore hari”
[lihat Shahih At-Targhib juz 1 no. 662].
اقْرَأُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلا تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ
”Bacalah surat Al-Baqarah, karena membacanya akan mendatangkan berkah dan meninggalkannya berarti kerugian. Tukang sihir tidak akan bisa berbuat jahat kepada pembacanya”
[HR. Muslim no. 804].
الْآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ مَنْ قَرَأَهُمَا فِيْ لَيْلَةٍِ كَفَتَاهُ
”Dua ayat terakhir dari Surat Al-Baqarah, barangsiapa yang membacanya di malam hari maka ia telah mencukupkannya”
[HR. Bukhari no. 3786 dan Muslim no. 807].[1]
Semua nash yang shahih menunjukkan bahwa fadlilah ayat-ayat Al-Qur’an hanya dapat diperoleh – minimal – jika kita membacanya.
Al-Qur’an bukanlah jimat yang ayat-ayatnya ditulis dan dibungkus dalam kain untuk menolak bala’ dan bahaya. Al-Qur’an pun bukanlah hiasan dan barang penglaris dagangan sehingga manusia bermegah-megahan dengannya. Tidak kita dapatkan contoh dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, para shahabat, atau para ulama terpercaya setelah mereka yang memajang ayat Al-Qur’an di dinding sebagai hiasan dan penolak setan.
Abu ’Ubaid meriwayatkan dalam kitab Fadlaailul-Qur’an (1/111) dengan sanad shahih dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia berkata : ”Mereka (para shahabat radliyallaahu ’anhum) membenci segala macam tamimah (jimat) [2], baik yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an atau bukan dari ayat-ayat Al-Qur’an”.
Fatwa-fatwa 'ulama mengenai penyalahgunaan al-qur'an
1. Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daaimah terkait dengan penggunaan al-qur'an sebagai hiasan.
س: يجري بيع لوحات تعلق على الحائط مكتوب عليها آية الكرسي تعلق على الغرف تكريما وافتخارا بالقرآن الكريم، هل مثل هذه اللوحات محرم بيعها في الأسواق واستيرادها إلى المملكة؟
ج: القرآن نزل ليكون حجة على العالمين، ودستورا ومنهاجا لجميع أفراد المسلمين، يحلون حلاله ويحرمون حرامه، ويعملون بمحكمه، ويؤمنون بمتشابهه، يحفظ في الصدور، ويكتب في المصاحف والرقاع والألواح ونحوها؛ للرجوع إليه وتلاوته منها عند الحاجة، هذا هو الذي فهم المسلمون الأوائل ودرج عملهم عليه، أما ما بدأ يظهر في هذه الأزمنة من كتابة بعض القرآن على لوحة أو رقعة كتابة مزخرفة وتعليقها داخل غرفة أو سيارة أو نحو ذلك فلم يكن هذا من عمل السلف، وقد يكون في ذلك من المفاسد أعظم مما قصد الكاتب أو المعلق من تعظيمه والافتخار به من شغل المعتنين بذلك عن الاهتمام بأغراض القرآن التي نزل من أجلها، فالأولى بالمسلم أن يترك هذه الأشياء ويبتعد عن التعامل فيها، وإن كان الأصل فيها الحل خشية أن يكثر استعمالها والتعامل فيها فتشغل الناس عما هو المقصود من القرآن.وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Soal :
Seringkali dilakukan penjualan hiasan dinding yang tercantum di dalamnya ayat Kursi. Hal itu biasanya ditempel di ruangan sebagai bentuk penghormatan dan rasa bangga terhadap Al-Qur’an Al-Kariim. Apakah hiasan-hiasan tersebut diharamkan untuk menjualnya di pasar-pasar dan mendatangkannya ke kerajaan/negeri ini ?
Jawab :
Al-Qur’an diturunkan supaya menjadi hujjah atas alam ini serta menjadi undang-undang dan manhaj bagi seluruh kaum muslimin. Mereka menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram (di dalam Al-Qur’an), mengamalkan hukumnya, iman terhadap ayat-ayat mutasyabihaat.
Al-Qur’an dihafal di dada (kaum muslimin), dan ditulis dalam lembaran-lembaran, dedaunan dan pelepah, serta yang lainnya; untuk dijadikan rujukan dan membacanya (dari lembaran itu) ketika dibutuhkan. Inilah yang dipahami generasi pertama kaum muslimin dan mereka beramal di atasnya.
Adapun sesuatu yang baru muncul di jaman belakangan ini, berupa penukilan sebagian (ayat-ayat) Al-Qur’an pada hiasan atau kertas tulisan yang dihiasi serta menempelkannya dalam ruangan; maka itu semua bukan termasuk amalan generasi salaf. Dan bisa saja kerusakan yang timbul dengan sebab itu lebih besar daripada pengagungan dan rasa bangga yang dimaksud oleh orang yang menulis atau menempelkannya. Yaitu efeknya yang berupa membuat para pemerhati barang itu disibukkan dari memperhatikan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an.
Maka sebaiknya seorang muslim meninggalkan hal-hal ini dan menjauhkan (diri) dari berinteraksi (at-ta’aamul) di dalamnya, meskipun pada dasarnya hal tersebut halal. Hal tersebut dilakukan karena khawatir bahwa perbuatan dan interaksi tersebut akan merajalela sehingga menyibukkan manusia dari maksud Al-Qur’an yang sebenar-benarnya.
Wabillaahit-taufiq. Wa shallallaahu ’alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ – ’Abdul-’Aziz bin Baaz (Ketua), ’Abdurrazzaq Al-’Afifi (Wakil Ketua), ’Abdullah bin Ghudayan (Anggota); dan ’Abdullah bin Qu’ud (anggota).
[Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no. 1871, juz 4 halaman 72 – 73.]
2. Fatwa Syaikh Al-Fauzan mengenai dijadikannya al-qur'an sebagai nada dering (ringtone)
ما رأيكم فيمن يضع في الجوالِ بدلا مِن الموسيقى أذان أو قراءة القرآنِ الكريم؟
حكم استعمالِ الأذان والقرآن الكريم بدلا مِن الموسيقى في الجوالات
ما رأيكم فيمن يضع في الجوالِ بدلا مِن الموسيقى أذان أو قراءة القرآنِ الكريم؟
هذا امتهانٌ للأذانِ والذِّكر وللقرآن الكريم؛ فلا يُتخذ لأجل التنبيه.
ما يُتخذُ القرآنُ لأجل التنبيه؛ يُقال: هذا خيرٌ مِن الموسيقى ! طيب الموسيقا: أنت مُلزَم بها ؟!! اترك الموسيقى، ضع شيء منبِّه، لا فيه موسيقى،
ولا فيه قرآن، منبه فقط
[من شريط بعنوان: " لقاء مفتوح مع الشيخ العلاّمة صالح بن فوزان الفوزان - حفظه الله- " بتاريخ 23 -10-1426هـ].
Soal:
Apa pendapat anda tentang penggunaan adzan atau qiraat Al-Qur'an sebagai nada dering handphone untuk menggantikan ringtone musik?
Jawab:
Hal ini merupakan penghinaan atau termasuk merendahkan (penyalahgunaan) terhadap adzan, dzikir, dan Alquran.
Jadi, tidak seharusnya menjadikannya sebagai alarm (ringtones). Alquran tidak boleh dijadikan sebagai alarm/nada dering.
Jika dikatakan: “Ini lebih baik daripada musik!” Bantahlah: “Ya, apakah kamu terpaksa dengan musik?!
Tinggalkan musik dan taruhlah sesuatu yang ada sebagai ringtone, seperti bunyi normal.
Sesuatu yang bukan mengandung musik ataupun yang mengandung Alquran. Sesuatu yang sederhana sebagai bunyi dering.
Kesimpulan:
Tidak dibenarkan memasang Al-Qur’an di dinding atau yang lainnya untuk tujuan mengusir setan ataupun sebagai hiasan. Setan hanya akan lari ketika ayat Al-Qur’an dibaca dan diperdengarkan. Bukan dengan dipajang. Al-Qur’an diturunkan juga bukan sebagai hiasan [seperti menjadikannya dalam bentuk-bentuk seperti kaligrafi atau ringtone] yang justru rentan menimbulkan riya’ bagi pelakunya [3]. Sudah selayaknya setiap muslim menghindari hal-hal yang demikian. [Dan sebaiknya, kita hanya menggunakan al-qur'an sesuai dengan tujuan diturunkannya]
Wallaahu a’lam.
Dinukil dari tulisan Abul-Jauzaa'
(dengan penambahan yang seperlunya tanpa merubah makna)
Dengan judul asli:
Hukum Al-Qur'an yang Dipajang Sebagai Hiasan dan Pengusir Setan
Catatan kaki :
[1] An-Nawawi berkata : “Ada yang mengatakan yaitu cukup baginya dari qiyamul-lail; ada pula yang mengatakan yaitu cukup baginya dari (gangguan) syaithan; dan ada pula yang mengatakan yaitu cukup baginya dari berbagai gangguan penyakit. Dan kemungkinan juga dari semuanya” [Syarah Shahih Muslim 6/91].
[2] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, tamiimah (jimat-jimat), dan tiwalah (pellet, susuk, dan sejenisnya) termasuk syirik” [HR. Abu Dawud no. 3883, Ibnu Majah no. 3530, Ahmad 1/381, dan lain-lain; shahih].
[3] Sebagian orang memajang ayat-ayat Al-Qur’an di dinding (atau menjadikannya sebagai ringtone) ingin menunjukkan tentang iltizam (komitmen) mereka terhadap syari’at. Padahal banyak diantara mereka yang justru jauh dari syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari yang mereka jalani !
Diantara mereka ada yang memasang ayat-ayat haji, namun mereka sendiri tidak berhaji padahal mampu.
Diantara mereka ada yang memasang ayat-ayat hijab (jilbab) tapi istri dan anak mereka tidak memakai jilbab.
Diantara mereka ada yang memasang ayat-ayat tentang shalat, tapi ia dan keluarganya sering melalaikannya……
Allaahul-Musta’an !
Baca selengkapnya..
Headline
Minggu, 27 September 2009
Rabu, 23 September 2009
JANGAN LUPA TUNAIKAN PUASA SYAWAL
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi (yang artinya),“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya”. (HR. Bukhari). Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.
Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”(HR. Muslim). Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ’ala Muslim, 8/56)
Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ’ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.
Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan,”Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ’Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan”. Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelongggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.
Caatan : Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzul Qo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,”Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tadi,”Barangsiapa berpuasa ramadhan”. (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan : Adapun puasa sunnah selain puasa syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin –semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.
Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!
Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan,”Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata,”Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,”Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ’anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Hanya Allah lah yang memberi taufik.
Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.facebook.com/l/c07b1;Rumaysho.com
Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
-------------------- Baca selengkapnya..
Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”(HR. Muslim). Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ’ala Muslim, 8/56)
Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ’ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.
Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan,”Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ’Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan”. Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelongggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.
Caatan : Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzul Qo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,”Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tadi,”Barangsiapa berpuasa ramadhan”. (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan : Adapun puasa sunnah selain puasa syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin –semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.
Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!
Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan,”Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata,”Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,”Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ’anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Hanya Allah lah yang memberi taufik.
Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.facebook.com/l/c07b1;Rumaysho.com
Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
-------------------- Baca selengkapnya..
Ingin dicintai Allåh? Maka cintailah saudaramu karena-Nya...
Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda, yang artinya
"Tidak beriman (-maksudnya tidak sempurna iman-) salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri."
[HR. Bukhåri dan Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (yang artinya) Allah berfirman pada Hari Kiamat, (yang artinya)
“Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.”
(HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, (yang artinya)
'Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’
Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, (yang artinya)
‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.”
(HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, (yang artinya) “Allah berfirman, (yang artinya)
‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.'
(HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.” Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.”
[Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.
Allah berfirman
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, yang artinya
“Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]
“Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.
[HR.Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]
Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 :
“Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.
Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.
Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja; yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun ia tidak mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. Menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. Hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata:
“Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.
- Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta.
- Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong.
Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.
Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa".
Beliau berkata, adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah. Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.
Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.
Sikap-sikap yang disukai dan tidak disukai manusia
Sebelum masuk dalam pembahasan ini, layaknya kita menoleh kepada dua hadits berikut:
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,bersabda, yang artinya:
"Tidak beriman (-maksudnya tidak sempurna iman-) salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri."
[Riwayat Bukhori dan Muslim]
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata,
“Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya"
"Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya."
"Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata,
“Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya."
"Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya:
“Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api nereka dan masuk surga, hendaklah ia meninggal sedang ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia memperlakukan manusia sebagaimana ia ingin diperlakukan” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Sangat banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari dua hadits diatas. Hadits pertama menyerukan agar kita mencintai saudara seaqidah kita sebagaimana mencintai diri kita, salah satu bentuk pengamalannya contohnya seperti kita mencintai petunjuk dan hidayah Allåh ada dalam diri kita, maka semestinya, kita pun berlaku sama terhadap saudara kita, dengan mencintai hal tersebut ada pada dirinya, sehingga sikap kita kepadanya dalam menyampaikan dan meluruskan kesalahannya adalah untuk menuntunnya ke arah yang lebih baik, bukannya malah menjauhkannya dari hidayah dengan sikap kita yang tidak hikmah.
Cobalah tanyakan kepada diri kita sendiri, bukankah kita pun akan sulit menerima atau bahkan menolak nasehat orang -yang mana orang yang menyampaikan nasehat tersebut menggunakan dengan cara-cara yang tidak kita sukai-? maka begitupun dengan orang lain, maka sepantasnya kita memperlakukan mereka seperti apa yang kita inginkan kepada mereka.
Sikap-sikap yang disukai manusia
[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.
[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.
Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.
[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.
Allah berfirman.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik..” (An-Nahl: 125)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat diatas:
“Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah”. Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehingga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya.
Target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.
[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.
Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan.
Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.
Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya.
Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِ
“Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]
[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit.
Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.
[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.
[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.
Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.
Sikap yang tidak disukai manusia
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut.
Pertama - Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain
Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi.
Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirianJauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyakKarena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusiaAdalah salah satu bentuk menjelek – jelekkanAku tidak ridho mendengarnyaApabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapankuMaka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati
Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah.
Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.
Kedua - Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung
Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung (baca: to the point).
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).
Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ahan yang dilakukannya.
Ketiga - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu [hal ini] hanya [berlaku] dalam masalah-masalah khilafiyyah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.
Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik."
Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitab Mukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.
[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.
Keempat- Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.
Kelima - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walau sedikit saja…….. ” sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.
[1]. Harta atau uang
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.
Keenam - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.
Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.
Ketujuh - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.
Kedelapan - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.
Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatul ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.
Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.
Solusinya: Memperbanyak muhasabah diri
Kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar.
‘Umar Al-Farûq berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang!, dan berhiaslah (beramal solehlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba!”
Allâh berfirman
يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allâh)” (QS 69:18).
Benarlah apa yang diucapkan oleh Al-Farûq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini jauh lebih ringan daripada hisab Allâh di hari dimana rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allâh dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya
لاَ يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَلاَ كَبِيْرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلاَ يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan (di dunia) nampak tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua” (QS 18:49).
Al-Hasan berkata, “Seorang mukmin adalah pengendali dirinya, (hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allâh. Yang menyebabkan suatu kaum hisab mereka ringan di akhirat kelak adalah karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan hanyalah yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum di hari kiamat kelak adalah karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhâsabah (di dunia)”
Hakekat dari muhâsabah adalah menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan, sehingga dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.
Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Namun perhitungan ini (muhâsabah) akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan pembedaan antara nikmat dan fitnah (istidrâj).
(Pertama), cahaya hikmah yaitu ilmu yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudhorot, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian ia bisa mengetahui tingkatan amalan mana yang ringan dan mana yang berat, mana yang diterima dan mana yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang maka dia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhâsabah).
(Kedua), adapun berprasangka buruk kepada diri sangat dibutuhkan (dalam muhâsabah), karena berbaik sangka kepada jiwa mencegah sempurnanya pemeriksaan jiwa, maka jadinya dia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan dan memandang aibnya adalah suatu kesempurnaan dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
(ketiga), adapun membedakan antara nikmat dan fitnah yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allâh anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih sayang-Nya yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan yang abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidrâj dari Allâh.
Betapa banyak orang yang ter-istidrâj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allâh-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya yang kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allâh.
Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (yaitu, pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka….”
Beliau melanjutkan,
”…. Semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allâh dan apa yang diridhoi Allâh maka hal itu adalah karunia Allâh, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allâh dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allâh, jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allâh bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allâh.
Jika tidak demikian, maka dia hanyalah bumerang baginya….dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagungan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allâh, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allâh. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati poin yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah yang berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”
[Madârijus Sâlikîn 1/ 321-324]
Ketahuilah bahwa termasuk penyempurna muhâsabah yaitu engkau mengetahui bahwa setiap kemaksiatan atau aib yang karenanya engkau mencela saudaramu maka akan kembali kepadamu.
Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya) maka dia tidak akan mati hingga dia melaksanakan kemaksiatan tersebut” (HR. Tirmidzi)
[Berkata At-Tirmidzî, “Ini adalah hadits hasan ghorîb”. Berkata Al-Mubârokfûri, “Hadits ini munqothi’, walau demikian At-Tirmidzî menghasankannya, kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syâhid (penguat lain) bagi hadits ini sehingga inqithâ’ (keterputusan sanadnya) tidak mempengaruhi” (Tuhfatul Ahwadzî 7/251). Namun Syaikh Al-Albânî menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits maudhû’ (palsu) dalam Dho’îf Sunan At-Tirmidzî no 449 dan dalam Dha’îful Jamî’ no 5710.]
Berkata Imam Ahmad menafsirkan hadits ini, “Yaitu (mencelanya karena) dosa/maksiat yang ia telah bertaubat darinya.
Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan juga pada suatu pencelaan tersirat rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At-Tirmidzî meriwayatkan juga –secara marfû’- bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda,”Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu sehingga Allâh merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu” [HR. Tirmidzi, Namun hadits ini didhåifkan oleh Syaikh al-albani dalam kitabnya dhåif sunan at-tirmidzi].
Dan mungkin juga maksud Nabi bahwa dosa pencelaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu adalah oleh sebab pencelaanmu itu menunjukan tazkiyatun nafsi (memuji diri sendiri) dan mengklaim bahwa engkau selalu diatas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa dan bahwa saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa jadi penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengklaiman sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia dihadapan Allâh dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, yang lebih bermanfaat baginya.
Bandingkanlah dengan pengklaimanmu bahwa engkau selalu diatas ketaatan kepada Allâh dan engkau menganggap bahwa engkau banyak melakukan ketaatan kepada Allâh bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allâh dan kepada makhluk-makhluk-Nya dengan ketaatanmu tersebut.
Sungguh dekat saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- kepada rahmat Allâh. Dan betapa jauh orang yang ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya dengan kemurkaan Allâh.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina dihadapan Allâh lebih disukai Allâh daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ujub.
Seorang saaf berkata, Sesungguhnya jika engkau tertidur di malam hari (tidak melaksanakan sholat malam) kemudian di pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau sholat malam kemudian di pagi hari engkau merasa ujub kepada diri sendiri.
Ini dikarenakan sesungguhnya orang yang ujub amalnya tidak sampai kepada Allâh. Engkau tertawa namun engkau mengakui (kesalahanmu dan kekuranganmu) lebih baik dari pada engkau menangis namun engkau merasa ujub. Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allâh dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ujub. Bisa jadi dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu Allâh berikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh darinya padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allâh memiliki rahasia dan hikmah yang terdapat pada hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indera manusia. Namun di balik itu ada rahasia Allâh yang tidak diketahui bahkan oleh para malaikat para pencatat amal.
Semoga Allåh menunjuki kita jalan-Nya yang hak, memberikan dan menetapkan kita diatas hidayah-Nya, aamiin.
Maraji
- Renungan Råmadhån, Al-Ustadz Firanda Andirja Hafizhåhullåh
- Urgensi Pembahasan Etika Bergaul*, Al-Ustadz Fariq bin Gasim Anuz Hafizhåhullåh
- Indahnya cinta karena Allåh, Penulis: Ummul Hasan, Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
*dengan beberapa penambahan seperlunya tanpa mengubah maknanya Baca selengkapnya..
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda, yang artinya
"Tidak beriman (-maksudnya tidak sempurna iman-) salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri."
[HR. Bukhåri dan Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (yang artinya) Allah berfirman pada Hari Kiamat, (yang artinya)
“Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.”
(HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, (yang artinya)
'Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’
Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, (yang artinya)
‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.”
(HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, (yang artinya) “Allah berfirman, (yang artinya)
‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.'
(HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.” Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.”
[Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.
Allah berfirman
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, yang artinya
“Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]
“Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.
[HR.Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]
Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 :
“Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.
Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.
Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja; yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun ia tidak mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. Menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. Hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata:
“Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.
- Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta.
- Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong.
Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.
Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa".
Beliau berkata, adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah. Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.
Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.
Sikap-sikap yang disukai dan tidak disukai manusia
Sebelum masuk dalam pembahasan ini, layaknya kita menoleh kepada dua hadits berikut:
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,bersabda, yang artinya:
"Tidak beriman (-maksudnya tidak sempurna iman-) salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri."
[Riwayat Bukhori dan Muslim]
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata,
“Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya"
"Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya."
"Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata,
“Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya."
"Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya:
“Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api nereka dan masuk surga, hendaklah ia meninggal sedang ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia memperlakukan manusia sebagaimana ia ingin diperlakukan” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Sangat banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari dua hadits diatas. Hadits pertama menyerukan agar kita mencintai saudara seaqidah kita sebagaimana mencintai diri kita, salah satu bentuk pengamalannya contohnya seperti kita mencintai petunjuk dan hidayah Allåh ada dalam diri kita, maka semestinya, kita pun berlaku sama terhadap saudara kita, dengan mencintai hal tersebut ada pada dirinya, sehingga sikap kita kepadanya dalam menyampaikan dan meluruskan kesalahannya adalah untuk menuntunnya ke arah yang lebih baik, bukannya malah menjauhkannya dari hidayah dengan sikap kita yang tidak hikmah.
Cobalah tanyakan kepada diri kita sendiri, bukankah kita pun akan sulit menerima atau bahkan menolak nasehat orang -yang mana orang yang menyampaikan nasehat tersebut menggunakan dengan cara-cara yang tidak kita sukai-? maka begitupun dengan orang lain, maka sepantasnya kita memperlakukan mereka seperti apa yang kita inginkan kepada mereka.
Sikap-sikap yang disukai manusia
[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.
[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.
Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.
[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.
Allah berfirman.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik..” (An-Nahl: 125)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat diatas:
“Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah”. Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehingga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya.
Target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.
[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.
Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan.
Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.
Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya.
Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِ
“Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]
[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit.
Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.
[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.
[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.
Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.
Sikap yang tidak disukai manusia
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut.
Pertama - Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain
Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi.
Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirianJauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyakKarena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusiaAdalah salah satu bentuk menjelek – jelekkanAku tidak ridho mendengarnyaApabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapankuMaka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati
Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah.
Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.
Kedua - Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung
Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung (baca: to the point).
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).
Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ahan yang dilakukannya.
Ketiga - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu [hal ini] hanya [berlaku] dalam masalah-masalah khilafiyyah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.
Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik."
Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitab Mukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.
[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.
Keempat- Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.
Kelima - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walau sedikit saja…….. ” sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.
[1]. Harta atau uang
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.
Keenam - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.
Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.
Ketujuh - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.
Kedelapan - Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.
Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatul ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.
Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.
Solusinya: Memperbanyak muhasabah diri
Kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar.
‘Umar Al-Farûq berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang!, dan berhiaslah (beramal solehlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba!”
Allâh berfirman
يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allâh)” (QS 69:18).
Benarlah apa yang diucapkan oleh Al-Farûq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini jauh lebih ringan daripada hisab Allâh di hari dimana rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allâh dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya
لاَ يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَلاَ كَبِيْرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلاَ يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan (di dunia) nampak tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua” (QS 18:49).
Al-Hasan berkata, “Seorang mukmin adalah pengendali dirinya, (hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allâh. Yang menyebabkan suatu kaum hisab mereka ringan di akhirat kelak adalah karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan hanyalah yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum di hari kiamat kelak adalah karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhâsabah (di dunia)”
Hakekat dari muhâsabah adalah menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan, sehingga dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.
Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Namun perhitungan ini (muhâsabah) akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan pembedaan antara nikmat dan fitnah (istidrâj).
(Pertama), cahaya hikmah yaitu ilmu yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudhorot, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian ia bisa mengetahui tingkatan amalan mana yang ringan dan mana yang berat, mana yang diterima dan mana yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang maka dia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhâsabah).
(Kedua), adapun berprasangka buruk kepada diri sangat dibutuhkan (dalam muhâsabah), karena berbaik sangka kepada jiwa mencegah sempurnanya pemeriksaan jiwa, maka jadinya dia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan dan memandang aibnya adalah suatu kesempurnaan dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
(ketiga), adapun membedakan antara nikmat dan fitnah yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allâh anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih sayang-Nya yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan yang abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidrâj dari Allâh.
Betapa banyak orang yang ter-istidrâj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allâh-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya yang kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allâh.
Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (yaitu, pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka….”
Beliau melanjutkan,
”…. Semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allâh dan apa yang diridhoi Allâh maka hal itu adalah karunia Allâh, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allâh dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allâh, jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allâh bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allâh.
Jika tidak demikian, maka dia hanyalah bumerang baginya….dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagungan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allâh, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allâh. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati poin yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah yang berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”
[Madârijus Sâlikîn 1/ 321-324]
Ketahuilah bahwa termasuk penyempurna muhâsabah yaitu engkau mengetahui bahwa setiap kemaksiatan atau aib yang karenanya engkau mencela saudaramu maka akan kembali kepadamu.
Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya) maka dia tidak akan mati hingga dia melaksanakan kemaksiatan tersebut” (HR. Tirmidzi)
[Berkata At-Tirmidzî, “Ini adalah hadits hasan ghorîb”. Berkata Al-Mubârokfûri, “Hadits ini munqothi’, walau demikian At-Tirmidzî menghasankannya, kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syâhid (penguat lain) bagi hadits ini sehingga inqithâ’ (keterputusan sanadnya) tidak mempengaruhi” (Tuhfatul Ahwadzî 7/251). Namun Syaikh Al-Albânî menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits maudhû’ (palsu) dalam Dho’îf Sunan At-Tirmidzî no 449 dan dalam Dha’îful Jamî’ no 5710.]
Berkata Imam Ahmad menafsirkan hadits ini, “Yaitu (mencelanya karena) dosa/maksiat yang ia telah bertaubat darinya.
Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan juga pada suatu pencelaan tersirat rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At-Tirmidzî meriwayatkan juga –secara marfû’- bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda,”Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu sehingga Allâh merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu” [HR. Tirmidzi, Namun hadits ini didhåifkan oleh Syaikh al-albani dalam kitabnya dhåif sunan at-tirmidzi].
Dan mungkin juga maksud Nabi bahwa dosa pencelaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu adalah oleh sebab pencelaanmu itu menunjukan tazkiyatun nafsi (memuji diri sendiri) dan mengklaim bahwa engkau selalu diatas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa dan bahwa saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa jadi penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengklaiman sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia dihadapan Allâh dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, yang lebih bermanfaat baginya.
Bandingkanlah dengan pengklaimanmu bahwa engkau selalu diatas ketaatan kepada Allâh dan engkau menganggap bahwa engkau banyak melakukan ketaatan kepada Allâh bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allâh dan kepada makhluk-makhluk-Nya dengan ketaatanmu tersebut.
Sungguh dekat saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- kepada rahmat Allâh. Dan betapa jauh orang yang ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya dengan kemurkaan Allâh.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina dihadapan Allâh lebih disukai Allâh daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ujub.
Seorang saaf berkata, Sesungguhnya jika engkau tertidur di malam hari (tidak melaksanakan sholat malam) kemudian di pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau sholat malam kemudian di pagi hari engkau merasa ujub kepada diri sendiri.
Ini dikarenakan sesungguhnya orang yang ujub amalnya tidak sampai kepada Allâh. Engkau tertawa namun engkau mengakui (kesalahanmu dan kekuranganmu) lebih baik dari pada engkau menangis namun engkau merasa ujub. Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allâh dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ujub. Bisa jadi dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu Allâh berikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh darinya padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allâh memiliki rahasia dan hikmah yang terdapat pada hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indera manusia. Namun di balik itu ada rahasia Allâh yang tidak diketahui bahkan oleh para malaikat para pencatat amal.
Semoga Allåh menunjuki kita jalan-Nya yang hak, memberikan dan menetapkan kita diatas hidayah-Nya, aamiin.
Maraji
- Renungan Råmadhån, Al-Ustadz Firanda Andirja Hafizhåhullåh
- Urgensi Pembahasan Etika Bergaul*, Al-Ustadz Fariq bin Gasim Anuz Hafizhåhullåh
- Indahnya cinta karena Allåh, Penulis: Ummul Hasan, Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
*dengan beberapa penambahan seperlunya tanpa mengubah maknanya Baca selengkapnya..
DO'A AGAR ANAK MENJADI SHOLEH
Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST
Kita telah mengetahui bahwa hidayah dan taufik semata-mata dari Allah dan kita hanya bisa berusaha dan berusaha, namun namanya hidayah tetap kita serahkan pada-Nya.
Tidak usah jauh-jauh, cobalah kita perhatikan nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu para nabi. Lihatlah bagaimana kehidupan beliau. Perhatikanlah bahwa di waktu kecil saja, beliau dalam keadaan yatim, sudah ditinggalkan ibu bapaknya. Beliau tumbuh dalam keadaan fakir, lalu siapakah yang selalu menjaganya? Siapakah yang menumbuhkan keimanannya? Siapakah yang mewahyukan kitab suci Al Qur’an padanya? Dialah Allah subhanahu wa ta’ala, segala kenikmatan adalah dari-Nya, segala kemuliaan dan sanjungan berhak ditujukan pada-Nya.
Jika kita telah mengetahui hal ini, yakin bahwa yang memberi hidayah adalah Allah dan yakin pula bahwa setiap penjagaan adalah dari-Nya, maka hendaklah kita memanjatkan do’a pada-Nya agar anak dan keturunan kita menjadi sholeh dan baik. Mintalah pada-Nya agar keturunan kita senantiasa mendapat berkah, juga selamat dari berbagai bahaya dan kejelekan. Mintalah pada Allah, semoga mereka senantiasa mendapatkan perlindungan dari gangguan setan, manusia jahat, dan jin. Inilah kebiasaan orang sholih yang sebaiknya kita tiru.
Do’a Untuk Memperbaiki Keturunan
Do’a Pertama
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“ROBBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WA DZURRIYATINA QURROTA A’YUN, WAJ’ALNA LILMUTTAQINA IMAMAA.” (Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqon:74)
Do’a Kedua
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“ROBBI AWZI’NI AN ASYKURO NI’MATAKALLATI AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOLIHAN TARDHOH, WA ASHLIH LII FI DZURRIYATIY” (Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku) (QS. Al Ahqof:15)
Semoga kita bisa mengamalkan do’a yang mudah dihafalkan ini. Semoga kita tidak jemu untuk selalu memanjatkan do’a kepada-Nya. Allah tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu dia pulang dengan tangan hampa.
Disusun di gunung kidul, 3 dzulqo’dah 1429
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST Baca selengkapnya..
Kita telah mengetahui bahwa hidayah dan taufik semata-mata dari Allah dan kita hanya bisa berusaha dan berusaha, namun namanya hidayah tetap kita serahkan pada-Nya.
Tidak usah jauh-jauh, cobalah kita perhatikan nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu para nabi. Lihatlah bagaimana kehidupan beliau. Perhatikanlah bahwa di waktu kecil saja, beliau dalam keadaan yatim, sudah ditinggalkan ibu bapaknya. Beliau tumbuh dalam keadaan fakir, lalu siapakah yang selalu menjaganya? Siapakah yang menumbuhkan keimanannya? Siapakah yang mewahyukan kitab suci Al Qur’an padanya? Dialah Allah subhanahu wa ta’ala, segala kenikmatan adalah dari-Nya, segala kemuliaan dan sanjungan berhak ditujukan pada-Nya.
Jika kita telah mengetahui hal ini, yakin bahwa yang memberi hidayah adalah Allah dan yakin pula bahwa setiap penjagaan adalah dari-Nya, maka hendaklah kita memanjatkan do’a pada-Nya agar anak dan keturunan kita menjadi sholeh dan baik. Mintalah pada-Nya agar keturunan kita senantiasa mendapat berkah, juga selamat dari berbagai bahaya dan kejelekan. Mintalah pada Allah, semoga mereka senantiasa mendapatkan perlindungan dari gangguan setan, manusia jahat, dan jin. Inilah kebiasaan orang sholih yang sebaiknya kita tiru.
Do’a Untuk Memperbaiki Keturunan
Do’a Pertama
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“ROBBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WA DZURRIYATINA QURROTA A’YUN, WAJ’ALNA LILMUTTAQINA IMAMAA.” (Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqon:74)
Do’a Kedua
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“ROBBI AWZI’NI AN ASYKURO NI’MATAKALLATI AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOLIHAN TARDHOH, WA ASHLIH LII FI DZURRIYATIY” (Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku) (QS. Al Ahqof:15)
Semoga kita bisa mengamalkan do’a yang mudah dihafalkan ini. Semoga kita tidak jemu untuk selalu memanjatkan do’a kepada-Nya. Allah tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu dia pulang dengan tangan hampa.
Disusun di gunung kidul, 3 dzulqo’dah 1429
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST Baca selengkapnya..
Minggu, 20 September 2009
'IDUL FITHRI
Allah ta’ala mensyariatkan hamba-Nya untuk melakukan sholat ‘Idul Fithri sebagai rasa syukur atas telah ditunaikannya puasa Romadhon sebagaimana Allah ta’ala mensyariatkan sholat ‘Idul adh-ha sebagai rasa syukur telah dilaksanakannya ibadah haji.
Makna 'Idul Fithri
‘Idul Fithri maknanya adalah kembali berbuka. Pengertian ini diambil dari sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
“Bulan puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, al-fithri adalah hari dimana kalian berbuka dan al-adh-ha adalah hari dimana kalian menyembelih.” [HR. at-Tirmidzi 701, Abu Dawud 2326, Silsilah as-Shohihah 1/389 no. 224]
Bukanlah ‘Idul Fithri berarti “kembali suci” sebagaimana yang sering kita dengar karena pengertian yang salah ini akan berkonsekwensi kepada diremehkannya dosa-dosa kecil seorang hamba selama dosa-dosa besar dijauhi.
Allah ta’ala berfirman:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمً
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’: 31)
[kutipan dari artikel al-ustadz abdulhakim bin amir abdat hafizhåhullåh mengenai makna 'idul fithri]
Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (-waktu penulisannya yakni pada Ramadhan 1412H-) atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah "Kembali kepada Fitrah", Yakni : Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita.
Penjelasan mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari jurusan lughoh/bahasa ataupun Syara'/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi -meskipun umat tertipu- karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya Allahu Ta'ala.
Kami (Al-Ustadz Abdulhakim bin amir abdat hafizhåhullåh) berkata :
Pertama
"Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz Fithru/ Ifthaar" artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya "Hari Raya berbuka Puasa". Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan "Fitrah" tulisannya sebagai berikut [Fa-Tha-Ra-] dan [Ta marbuthoh] bukan [Fa-Tha-Ra]".
Kedua
"Adapun kesalahan mereka menurut Syara' telah datang hadits yang menerangkan bahwa "Idul Fithri" itu ialah "Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa".
"Artinya :Dari Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan".
[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy 4/252 dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan semua sanadnya di kitab saya "Riyadlul Jannah" No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi]
Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :
"Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka".
Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :
"Artinya : (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha pada hari kamu menyembelih hewan".
Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:
"Artinya : Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan (Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan".
Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I'ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri artinya ! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka.
(Jadi,) Artinya bukan "kembali kepada fithrah", karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi : "Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci". Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah dan lughoh/bahasa.
Adapun makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah pada hari kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adlha, maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin (berjama'ah), tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini (1412H/1992M).
Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :
"Artinya : Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama'ah dan bersama-sama orang banyak".
Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di atas manhaj dan aqidah Salafush Shalih. Amin!
[Dinukil dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M, http://www.almanhaj.or.id/content/1149/slash/0]
Hukum Sholat ‘Idul Fithri
Sholat ‘Idul Fithri hukumnya wajib berdasarkan pendapat yang paling kuat.
Dari Ummi’Athiyyah ia berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita mengeluarkan pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul adh-ha gadis-gadis remaja, wanita yang sedang haid dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid mereka menjauh dari tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak mempunyai jilbab’. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata: ‘Hendaknya saudarinya yang lain memakaikan ia jilbabnya’”. (HR. al-Bukhori 981, Muslim 890)
Dimanakah Sholat ‘Idul Fithri ?
Yang sunnah adalah mengerjakan sholat ‘Id di lapangan atau tanah lapang yang luas, sebagai syi’ar kaum muslimin kecuali di Makkah dikerjakan di dalam masjidil harom.
Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu’anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar (sholat) pada hari Fithri dan adh-ha menuju tanah lapang”. (HR. al-Bukhori 956)
Adab-Adab Menuju Tempat Sholat ‘Id
1. Berhias bagi laki-laki dan mengenakan pakaian paling bagus.
’Umar radliyallahu’anhu pernah membeli jubah yang dijual di pasar kemudian ia mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata:
”Wahai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam belilah jubah ini dan pakailah untuk ’Id (lebaran) dan menerima tamu Negara”. (HR. Al-Bukhori 886, Muslim 2068)
2. Mandi dan makan pagi sebelum berangkat
Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushalla tempat berkumpul manusia untuk sholat, di lapangan bila tidak hujan, red)" (Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih).
Imam Said Ibnul Musayyib berkata :
(Yang artinya) : “ Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]
Syaikh Ali Hasan Al-Halaby berkata: Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian.
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir"
[Al-Mughni 2/370]
Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) (Ini diriwayatkan dalam 'Sunan Ibnu Majah' 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab))
[Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein]
Dari ’Anas bin Malik radliyallahu’anhu ia berkata:
”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada hari ’Idul Fithri sebelum memakan beberapa biji kurma...Beliau memakainya dengan jumlah ganjil”. (HR. Al-Bukhori 953)
3. Bertakbir sejak keluar rumah[2]
Bertakbir adalah ibadah yang sangat mulia khususnya di hari lebaran. Namun apakah disyariatkan bertakbir mulai malam lebaran ?
Dari Zuhri radliyallahu’anhu:
”Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar pada hari ’Idul Fithri lalu bertakbir sampai mendatangi tanah lapang dan sampai menunaikan sholat. Setelah selesai sholat beliau menghentikan takbir.”
[Hadits Mursal diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah 1/487 namun memiliki beberapa penguat dan dishohihkan syaikh al-Albani dalam silsilah as-Shohihah 170.]
Adapun lafadz-lafadz takbir diantaranya [3]:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
"Allåhu akbar, Allåhu akbar, laa ilaaha illållåhu wallåhu akbar, Allåhu akbar walillaahilhamdu"
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selai Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah segala pujian.”
[HR. Ibnu Syaibah. (2/168) Dishohihkan syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil. (3/125]
اَللهُ أَكْبَرُ ،اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ ،وَلِلَّهِ الْحَمْدُ ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ أَجَلَّ اللهِ أَكْبَرُعَلَى مَاهَدَانَا
"Allåhu akbar, Allåhu akbar, Allåhu akbar walillaahilhamdu, Allåhu akbar wa jallallåhu akbaru 'ala maa hadaanaa"
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, bagi Allah segala pujian, Allah Maha Besar, pengagungan untuk Allah yang Maha Besar atas hidayah yang diberikan kepada kita”.
[HR. al-Baihaqi. (3/315) dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil (3/125) no.654]
Yang sesuai sunnah dalam mengamalkannya yaitu bertakbir dengan sendiri-sendiri tanpa dikomandoi (satu suara).
4. Berlainan jalan tatkala berangkat dan pulang
Dari Jabir radliyallahu’anhu ia berkata:
”Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari ’Id berlainan jalan tatkala berangkat dan pulang”. (HR. Al-Bukhori 986)
5. Tidak ada sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat ’Id
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu ia berkata:
“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat ‘Idul fithri dua rokaat, beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. (HR. al-Bukhori 964, at-Tirmidzi 537)
6. Tidak ada adzan maupun iqomah
Dari Jabir bin Samuroh radliyallahu’anhu ia berkata:
“Aku pernah sholat bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dua ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul adh-ha) tidak hanya sekali dua kali tanpa adzan dan iqomah. (HR. Muslim 887). Berkata Ibnul Qayyim: “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika telah sampai di tanah lapang beliau langsung sholat tanpa adzan, iqomah dan tidak pula ucapan “as-sholatul jaami’ah”. Yang sunnah adalah tidak mengucapkan demikian itu’. (Zadul Ma’ad 1/442)
7. Waktu Sholat ‘Idul Fithri
Sholat ‘Idul Fithri dikerjakan setelah matahari meninggi seukuran tombak. Dari Abdullah bin busyrin salah seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwasanya ia keluar melaksanakan sholat ‘Idul Fithri atau ‘Idul adh-ha maka ia mengingkari lambatnya imam.
Ia berkata: “Sesungguhnya kami dahulu telah selesai (sholat) pada waktu ini” waktu itu telah masuk waktu sholat sunnah (dhuha). (HR. Abu Dawud 1135, Ibnu Majah 1317)
Berkata Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah: “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melambatkan sholat ‘Idul Fithri dan menyegerakan sholat ‘Idul Adh-ha dan Ibnu ‘Umar yang terkenal dengan semangatnya menjalankan sunnah tidak keluar sampai terbitnya matahari’. (Zadul Ma’ad 1/442)
Syaikh Abu Bakr al-Jazairi berkata: “Yang lebih utama adalah menyegerakan sholat ‘Idul Adh-ha di awal waktu agar manusia bisa segera menyembelih sesembelihannya dan mengakhirkan sholat ‘Idul Fithri agar orang-orang bisa leluasa mengeluarkan zakat Fithrinya” (Minhajul Muslim 278)
8. Tata Cara Sholat ‘Id
a. Dikerjakan dua raka’at.
‘Umar radliyallahu’anhu berkata:
“Sholat al-Fithri adalah dua raka’at” (HR. Ahmad 1/37, an-Nasa’i 3/183 dengan sanad yang shahih)
b. Memulai raka’at pertama dengan takbiratul ihrom dan bertakbir 7 takbir di raka’at pertama dan 5 takbir di raka’at kedua selain takbir intiqol (takbir perpindahan gerak dari sujud ke berdiri atau berdiri ke rukuk).
Dari ’Aisyah radliyallahu’anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bertakbir pada ’Idul Fithri dan ’Idul adh-ha di raka’at pertama 7 takbir dan diraka’at kedua 5 takbir. (HR. Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280)
Tidak ada keterangan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengangkat tangan di tiap-tiap takbir. Namun Ibnu ’Umar –salah seorang sahabat yang sangat semangat mengamalkan sunnah mengangkat tangan di tiap tiap takbir sehingga ini pun bisa dipakai karena tidak mungkin beliau melakukannya kecuali ada contoh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak ada sahabat yang mengingkarinya.
c. Setelah selesai takbir membaca al-Fatihah lalu membaca surat Qof di raka’at pertama dan al-Qomar di raka’at kedua. (HR. Muslim 891) atau al-A’la di raka’at pertama dan al-Ghasyiah di raka’at kedua (HR. Muslim 878, at-Tirmidzi 533)
d. Kemudian rukuk dan seterusnya seperti sholat-sholat yang biasa.
e. Khutbah setelah sholat ’Id.
Ibnu ’Abbas radliyallahu’anhuma berkata:
”Aku mengikuti shalat ’Id bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radliyallahu’anhum, mereka semua sholat ’Id sebelum khutbah. (HR. Al-Bukhori 962, Muslim 884)
f. "Taqåbballallåhu minna wa mingkum" adalah Ucapan selamat pada hari 'id
Berkata syaikhul Islam:
’Ucapan selamat pada hari ’Id jika bertamu setelah sholat ’Id dengan mengucapkan:
تَقَبَّلْ اللهُ مِنَّاوَمِنْكُمْ
"Taqåbballallåhu minna wa mingkum"
”(yang artinya) Semoga Allah menerima amalan kami dan kalian”.
Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwasanya mereka mengucapkannya. (Majmu’ Fatawa 24/253, al-Mughni 2/259)
Maraji':
- 30 Tema Pilihan Kultum Romadhon Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Abu Bakr Muhammad Lalu al-Atsari, hal. 187-193 dengan penambahan beberapa footenote dinukil dari http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/09/16/seputar-%E2%80%98idul-fithri/
- Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M, dinukil dari http://www.almanhaj.or.id/content/1149/slash/0
- Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhåhullåhu ta'ala, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein
Footnotes
[1] Sebagian Ulama berpendapat dibolehkannya memulai takbir setelah matahari terbenam setelah berbuka puasa di puasa hari terakhir. Sehingga kita hendaknya berlapang dada dalam masalah ini. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah tata cara yang dilakukan kaum muslimin secara berlebihan yaitu dengan menghidupkan malam takbiran dengan keliling atau bahkan menabuh bedug atau musik, yang ini semua tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terlebih lagi hukumnya (gendang/ alat musik) yang haram. (admin -maramis setiawan-)
[2] Yang sunnah adalah mengucapkan lafadz takbir yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, seperti sebagiannya yang disampaikan diatas.
Adapun takbir-takbir yang panjang dan kebanyakan diamalkan oleh sebagian kaum muslimin dengan tambahan lafadz
“Allahu Akbar Kabiro, Wal hamdulillahi katsiro, Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila, Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun., Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah, Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah., Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar, Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd…..”
dan lainnya..
ini semuanya tidak ada dalilnya dari perkataan Nabi ataupun para Sahabat sehingga hendaknya ditinggalkan. (admin -marimas setiawan-) Baca selengkapnya..
Makna 'Idul Fithri
‘Idul Fithri maknanya adalah kembali berbuka. Pengertian ini diambil dari sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
“Bulan puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, al-fithri adalah hari dimana kalian berbuka dan al-adh-ha adalah hari dimana kalian menyembelih.” [HR. at-Tirmidzi 701, Abu Dawud 2326, Silsilah as-Shohihah 1/389 no. 224]
Bukanlah ‘Idul Fithri berarti “kembali suci” sebagaimana yang sering kita dengar karena pengertian yang salah ini akan berkonsekwensi kepada diremehkannya dosa-dosa kecil seorang hamba selama dosa-dosa besar dijauhi.
Allah ta’ala berfirman:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمً
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’: 31)
[kutipan dari artikel al-ustadz abdulhakim bin amir abdat hafizhåhullåh mengenai makna 'idul fithri]
Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (-waktu penulisannya yakni pada Ramadhan 1412H-) atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah "Kembali kepada Fitrah", Yakni : Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita.
Penjelasan mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari jurusan lughoh/bahasa ataupun Syara'/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi -meskipun umat tertipu- karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya Allahu Ta'ala.
Kami (Al-Ustadz Abdulhakim bin amir abdat hafizhåhullåh) berkata :
Pertama
"Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz Fithru/ Ifthaar" artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya "Hari Raya berbuka Puasa". Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan "Fitrah" tulisannya sebagai berikut [Fa-Tha-Ra-] dan [Ta marbuthoh] bukan [Fa-Tha-Ra]".
Kedua
"Adapun kesalahan mereka menurut Syara' telah datang hadits yang menerangkan bahwa "Idul Fithri" itu ialah "Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa".
"Artinya :Dari Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan".
[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy 4/252 dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan semua sanadnya di kitab saya "Riyadlul Jannah" No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi]
Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :
"Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka".
Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :
"Artinya : (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha pada hari kamu menyembelih hewan".
Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:
"Artinya : Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan (Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan".
Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I'ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri artinya ! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka.
(Jadi,) Artinya bukan "kembali kepada fithrah", karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi : "Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci". Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah dan lughoh/bahasa.
Adapun makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah pada hari kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adlha, maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin (berjama'ah), tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini (1412H/1992M).
Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :
"Artinya : Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama'ah dan bersama-sama orang banyak".
Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di atas manhaj dan aqidah Salafush Shalih. Amin!
[Dinukil dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M, http://www.almanhaj.or.id/content/1149/slash/0]
Hukum Sholat ‘Idul Fithri
Sholat ‘Idul Fithri hukumnya wajib berdasarkan pendapat yang paling kuat.
Dari Ummi’Athiyyah ia berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita mengeluarkan pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul adh-ha gadis-gadis remaja, wanita yang sedang haid dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid mereka menjauh dari tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak mempunyai jilbab’. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata: ‘Hendaknya saudarinya yang lain memakaikan ia jilbabnya’”. (HR. al-Bukhori 981, Muslim 890)
Dimanakah Sholat ‘Idul Fithri ?
Yang sunnah adalah mengerjakan sholat ‘Id di lapangan atau tanah lapang yang luas, sebagai syi’ar kaum muslimin kecuali di Makkah dikerjakan di dalam masjidil harom.
Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu’anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar (sholat) pada hari Fithri dan adh-ha menuju tanah lapang”. (HR. al-Bukhori 956)
Adab-Adab Menuju Tempat Sholat ‘Id
1. Berhias bagi laki-laki dan mengenakan pakaian paling bagus.
’Umar radliyallahu’anhu pernah membeli jubah yang dijual di pasar kemudian ia mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata:
”Wahai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam belilah jubah ini dan pakailah untuk ’Id (lebaran) dan menerima tamu Negara”. (HR. Al-Bukhori 886, Muslim 2068)
2. Mandi dan makan pagi sebelum berangkat
Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushalla tempat berkumpul manusia untuk sholat, di lapangan bila tidak hujan, red)" (Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih).
Imam Said Ibnul Musayyib berkata :
(Yang artinya) : “ Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]
Syaikh Ali Hasan Al-Halaby berkata: Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian.
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir"
[Al-Mughni 2/370]
Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) (Ini diriwayatkan dalam 'Sunan Ibnu Majah' 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab))
[Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein]
Dari ’Anas bin Malik radliyallahu’anhu ia berkata:
”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada hari ’Idul Fithri sebelum memakan beberapa biji kurma...Beliau memakainya dengan jumlah ganjil”. (HR. Al-Bukhori 953)
3. Bertakbir sejak keluar rumah[2]
Bertakbir adalah ibadah yang sangat mulia khususnya di hari lebaran. Namun apakah disyariatkan bertakbir mulai malam lebaran ?
Dari Zuhri radliyallahu’anhu:
”Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar pada hari ’Idul Fithri lalu bertakbir sampai mendatangi tanah lapang dan sampai menunaikan sholat. Setelah selesai sholat beliau menghentikan takbir.”
[Hadits Mursal diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah 1/487 namun memiliki beberapa penguat dan dishohihkan syaikh al-Albani dalam silsilah as-Shohihah 170.]
Adapun lafadz-lafadz takbir diantaranya [3]:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
"Allåhu akbar, Allåhu akbar, laa ilaaha illållåhu wallåhu akbar, Allåhu akbar walillaahilhamdu"
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selai Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah segala pujian.”
[HR. Ibnu Syaibah. (2/168) Dishohihkan syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil. (3/125]
اَللهُ أَكْبَرُ ،اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ ،وَلِلَّهِ الْحَمْدُ ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ أَجَلَّ اللهِ أَكْبَرُعَلَى مَاهَدَانَا
"Allåhu akbar, Allåhu akbar, Allåhu akbar walillaahilhamdu, Allåhu akbar wa jallallåhu akbaru 'ala maa hadaanaa"
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, bagi Allah segala pujian, Allah Maha Besar, pengagungan untuk Allah yang Maha Besar atas hidayah yang diberikan kepada kita”.
[HR. al-Baihaqi. (3/315) dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil (3/125) no.654]
Yang sesuai sunnah dalam mengamalkannya yaitu bertakbir dengan sendiri-sendiri tanpa dikomandoi (satu suara).
4. Berlainan jalan tatkala berangkat dan pulang
Dari Jabir radliyallahu’anhu ia berkata:
”Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari ’Id berlainan jalan tatkala berangkat dan pulang”. (HR. Al-Bukhori 986)
5. Tidak ada sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat ’Id
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu ia berkata:
“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat ‘Idul fithri dua rokaat, beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. (HR. al-Bukhori 964, at-Tirmidzi 537)
6. Tidak ada adzan maupun iqomah
Dari Jabir bin Samuroh radliyallahu’anhu ia berkata:
“Aku pernah sholat bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dua ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul adh-ha) tidak hanya sekali dua kali tanpa adzan dan iqomah. (HR. Muslim 887). Berkata Ibnul Qayyim: “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika telah sampai di tanah lapang beliau langsung sholat tanpa adzan, iqomah dan tidak pula ucapan “as-sholatul jaami’ah”. Yang sunnah adalah tidak mengucapkan demikian itu’. (Zadul Ma’ad 1/442)
7. Waktu Sholat ‘Idul Fithri
Sholat ‘Idul Fithri dikerjakan setelah matahari meninggi seukuran tombak. Dari Abdullah bin busyrin salah seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwasanya ia keluar melaksanakan sholat ‘Idul Fithri atau ‘Idul adh-ha maka ia mengingkari lambatnya imam.
Ia berkata: “Sesungguhnya kami dahulu telah selesai (sholat) pada waktu ini” waktu itu telah masuk waktu sholat sunnah (dhuha). (HR. Abu Dawud 1135, Ibnu Majah 1317)
Berkata Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah: “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melambatkan sholat ‘Idul Fithri dan menyegerakan sholat ‘Idul Adh-ha dan Ibnu ‘Umar yang terkenal dengan semangatnya menjalankan sunnah tidak keluar sampai terbitnya matahari’. (Zadul Ma’ad 1/442)
Syaikh Abu Bakr al-Jazairi berkata: “Yang lebih utama adalah menyegerakan sholat ‘Idul Adh-ha di awal waktu agar manusia bisa segera menyembelih sesembelihannya dan mengakhirkan sholat ‘Idul Fithri agar orang-orang bisa leluasa mengeluarkan zakat Fithrinya” (Minhajul Muslim 278)
8. Tata Cara Sholat ‘Id
a. Dikerjakan dua raka’at.
‘Umar radliyallahu’anhu berkata:
“Sholat al-Fithri adalah dua raka’at” (HR. Ahmad 1/37, an-Nasa’i 3/183 dengan sanad yang shahih)
b. Memulai raka’at pertama dengan takbiratul ihrom dan bertakbir 7 takbir di raka’at pertama dan 5 takbir di raka’at kedua selain takbir intiqol (takbir perpindahan gerak dari sujud ke berdiri atau berdiri ke rukuk).
Dari ’Aisyah radliyallahu’anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bertakbir pada ’Idul Fithri dan ’Idul adh-ha di raka’at pertama 7 takbir dan diraka’at kedua 5 takbir. (HR. Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280)
Tidak ada keterangan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengangkat tangan di tiap-tiap takbir. Namun Ibnu ’Umar –salah seorang sahabat yang sangat semangat mengamalkan sunnah mengangkat tangan di tiap tiap takbir sehingga ini pun bisa dipakai karena tidak mungkin beliau melakukannya kecuali ada contoh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak ada sahabat yang mengingkarinya.
c. Setelah selesai takbir membaca al-Fatihah lalu membaca surat Qof di raka’at pertama dan al-Qomar di raka’at kedua. (HR. Muslim 891) atau al-A’la di raka’at pertama dan al-Ghasyiah di raka’at kedua (HR. Muslim 878, at-Tirmidzi 533)
d. Kemudian rukuk dan seterusnya seperti sholat-sholat yang biasa.
e. Khutbah setelah sholat ’Id.
Ibnu ’Abbas radliyallahu’anhuma berkata:
”Aku mengikuti shalat ’Id bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radliyallahu’anhum, mereka semua sholat ’Id sebelum khutbah. (HR. Al-Bukhori 962, Muslim 884)
f. "Taqåbballallåhu minna wa mingkum" adalah Ucapan selamat pada hari 'id
Berkata syaikhul Islam:
’Ucapan selamat pada hari ’Id jika bertamu setelah sholat ’Id dengan mengucapkan:
تَقَبَّلْ اللهُ مِنَّاوَمِنْكُمْ
"Taqåbballallåhu minna wa mingkum"
”(yang artinya) Semoga Allah menerima amalan kami dan kalian”.
Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwasanya mereka mengucapkannya. (Majmu’ Fatawa 24/253, al-Mughni 2/259)
Maraji':
- 30 Tema Pilihan Kultum Romadhon Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Abu Bakr Muhammad Lalu al-Atsari, hal. 187-193 dengan penambahan beberapa footenote dinukil dari http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/09/16/seputar-%E2%80%98idul-fithri/
- Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M, dinukil dari http://www.almanhaj.or.id/content/1149/slash/0
- Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhåhullåhu ta'ala, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein
Footnotes
[1] Sebagian Ulama berpendapat dibolehkannya memulai takbir setelah matahari terbenam setelah berbuka puasa di puasa hari terakhir. Sehingga kita hendaknya berlapang dada dalam masalah ini. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah tata cara yang dilakukan kaum muslimin secara berlebihan yaitu dengan menghidupkan malam takbiran dengan keliling atau bahkan menabuh bedug atau musik, yang ini semua tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terlebih lagi hukumnya (gendang/ alat musik) yang haram. (admin -maramis setiawan-)
[2] Yang sunnah adalah mengucapkan lafadz takbir yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, seperti sebagiannya yang disampaikan diatas.
Adapun takbir-takbir yang panjang dan kebanyakan diamalkan oleh sebagian kaum muslimin dengan tambahan lafadz
“Allahu Akbar Kabiro, Wal hamdulillahi katsiro, Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila, Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun., Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah, Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah., Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar, Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd…..”
dan lainnya..
ini semuanya tidak ada dalilnya dari perkataan Nabi ataupun para Sahabat sehingga hendaknya ditinggalkan. (admin -marimas setiawan-) Baca selengkapnya..
Selasa, 15 September 2009
FATWA-FATWA SEPUTAR BERHARI RAYA DENGAN PEMERINTAH
Oleh : al-Fadhilatu Ustadz Armen Halim Naro Rahimahullah
1. FATWA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Pertanyaan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya : Tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal yang sebenarnya 10 (Dzul Hijjah)?
Jawaban
Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul Hijjah), jika memang ru’yah mereka benar. Sesungguhnya di dalam Sunnah (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda.
“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih [1] [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya]
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah telah bersabda, “(Idul) Fitri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua orang menyembelih” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]
Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan imam kaum muslimin [2]
FATWA SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI
Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an. [3]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, -pen) dan berbukalah kalian dengan melihatnya ….” Sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa ?
Jawaban
Jika anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.
“Artinya : Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”
Akan tetapi jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu Waliyyut Taufiq [4]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya ? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi ? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, red), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan ? Begitu juga denan permasalahan masuknya bulan Syawal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin.
Jawaban
Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka (Berhari raya) dengannya (pemerintah setempat), sesuai sabda Nabi.
“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”
Wa Billahi Taufiq [5]
FATWA SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Jika telah pasti masuknya bulan Ramadhan di suatu negara Islam, seperti kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa dengan kerajaan ? Bagaimana permasalahan ini. Jika terjadi perbedaan pada dua negara?
Jawaban
Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal –maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.[6]
FATWA LAJNAH DA’IMAH LIL BUHUTS ILMIAH WAL IFTWA ARAB SAUDI
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Iedul Adha ? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin ?
Jawaban
Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat :
Pertama.
Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.
Kedua.
Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias
Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah” [Al-Baqarah : 185]
FirmanNya.
“Artinya :Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia” [Al-Baqarah : 189]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya”
Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.
Kesimpulannya.
Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.
Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim-. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.
Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.
Tertanda : Wakil Ketua : Syaikh Abdur Razzaq Afifi. Anngota ; Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdullah bin Mani. [7]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Dikutip Dari Fatwa-Fatwa Seputar Hari Raya Dengan Pemerintah, Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah, Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km 8, Selokaton Gondangrejo - Solo]
__________
Foote Note
[1]. HR Tirmidzi, Bab Ma Ja-a Annal Fithra Yauma Tafthurun, Sunan dengan Tuhfah (3/382, 383
[2]. Majmu Fatawa (25/202)
[3]. Tamamul Minnah, hal. 398
[4]. Fatawa Ramadhan 1/145
[5]. Fatawa Ramadhan 1/112
[6]. Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan 3/124
[7]. Fatawa Ramadhan 1/117 Baca selengkapnya..
1. FATWA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Pertanyaan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya : Tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal yang sebenarnya 10 (Dzul Hijjah)?
Jawaban
Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul Hijjah), jika memang ru’yah mereka benar. Sesungguhnya di dalam Sunnah (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda.
“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih [1] [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya]
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah telah bersabda, “(Idul) Fitri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua orang menyembelih” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]
Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan imam kaum muslimin [2]
FATWA SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI
Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an. [3]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, -pen) dan berbukalah kalian dengan melihatnya ….” Sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa ?
Jawaban
Jika anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.
“Artinya : Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”
Akan tetapi jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu Waliyyut Taufiq [4]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya ? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi ? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, red), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan ? Begitu juga denan permasalahan masuknya bulan Syawal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin.
Jawaban
Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka (Berhari raya) dengannya (pemerintah setempat), sesuai sabda Nabi.
“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”
Wa Billahi Taufiq [5]
FATWA SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Jika telah pasti masuknya bulan Ramadhan di suatu negara Islam, seperti kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa dengan kerajaan ? Bagaimana permasalahan ini. Jika terjadi perbedaan pada dua negara?
Jawaban
Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal –maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.[6]
FATWA LAJNAH DA’IMAH LIL BUHUTS ILMIAH WAL IFTWA ARAB SAUDI
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Iedul Adha ? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin ?
Jawaban
Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat :
Pertama.
Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.
Kedua.
Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias
Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah” [Al-Baqarah : 185]
FirmanNya.
“Artinya :Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia” [Al-Baqarah : 189]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya”
Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.
Kesimpulannya.
Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.
Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim-. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.
Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.
Tertanda : Wakil Ketua : Syaikh Abdur Razzaq Afifi. Anngota ; Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdullah bin Mani. [7]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Dikutip Dari Fatwa-Fatwa Seputar Hari Raya Dengan Pemerintah, Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah, Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km 8, Selokaton Gondangrejo - Solo]
__________
Foote Note
[1]. HR Tirmidzi, Bab Ma Ja-a Annal Fithra Yauma Tafthurun, Sunan dengan Tuhfah (3/382, 383
[2]. Majmu Fatawa (25/202)
[3]. Tamamul Minnah, hal. 398
[4]. Fatawa Ramadhan 1/145
[5]. Fatawa Ramadhan 1/112
[6]. Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan 3/124
[7]. Fatawa Ramadhan 1/117 Baca selengkapnya..
Minggu, 13 September 2009
Keringanan Ketika Safar
Pertama, diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa jika mengalami kesulitan untuk berpuasa ketika safar. Jabir bin ‘Abdillah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[33] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Namun apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak tentu lebih menyenangkan daripada berpuasa sendiri.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[34] [35]
Kedua, mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua raka’at. Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.” [36]
Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
“Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”[37] Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.
Ketiga, meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib. Sebagaimana ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” [38]
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[39] Begitu pula untuk shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, boleh dilakukan ketika safar sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15/258).
Baca selengkapnya:
http://www.facebook.com/l/55c34;rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2701-beberapa-keringanan-ketika-safar-seri-4-mudik-lebaran.html
Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.facebook.com/l/55c34;Rumaysho.com
Artikel terkait:
Kembali dari safar
http://www.facebook.com/l/55c34;rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2700-tips-kembali-dari-mudik-seri-3-mudik-lebaran.html Baca selengkapnya..
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[33] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Namun apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak tentu lebih menyenangkan daripada berpuasa sendiri.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[34] [35]
Kedua, mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua raka’at. Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.” [36]
Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
“Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”[37] Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.
Ketiga, meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib. Sebagaimana ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” [38]
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[39] Begitu pula untuk shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, boleh dilakukan ketika safar sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15/258).
Baca selengkapnya:
http://www.facebook.com/l/55c34;rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2701-beberapa-keringanan-ketika-safar-seri-4-mudik-lebaran.html
Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.facebook.com/l/55c34;Rumaysho.com
Artikel terkait:
Kembali dari safar
http://www.facebook.com/l/55c34;rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2700-tips-kembali-dari-mudik-seri-3-mudik-lebaran.html Baca selengkapnya..
Senin, 07 September 2009
Minggu, 06 September 2009
Mengenal Tanda-tanda Malam Lailatul Qodar
Semua pasti telah mengetahui keutamaan malam Lailatul Qadar. Namun, kapan malam tersebut datang? Lalu adakah tanda-tanda dari malam tersebut? Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan malam yang keutamaannya lebih baik dari 1000 bulan.
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)
Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)
Catatan : Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.
Baca selengkapnya di:
http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2692-mengenal-tanda-tanda-malam-lailatul-qadar.html Baca selengkapnya..
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)
Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)
Catatan : Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.
Baca selengkapnya di:
http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2692-mengenal-tanda-tanda-malam-lailatul-qadar.html Baca selengkapnya..
Hikmah Makan Menggunakan Jari Tangan
Diantara sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah makan dengan menggunakan tangan kanannya. Beliau memakan makanannya dengan tiga jari, lalu menjilati ketiga jari tersebut sebelum membersihkannya. Dan bila ada satu suap makanan terjatuh dari tangan Rasul, beliau tidak akan meninggalkan makanan tersebut, melainkan mengambilnya dari tanah, lalu membersihkannya dan memakannya.
Hal tersebut diatas sesuai tertuang dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam "jika satu suap makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah, lalu bersihkan kotorannya, jangan biarkan untuk setan. Jangan membersihkan tangannya dengan sapu tangan, namun jilatlah jari-jarinya karena dia tidak mengetahui bagian mana dari makanannya yang mengandung keberkahan. (HR Muslim).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam selalu makan dengan ketiga jarinya. Setelah selesai makan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun akan menjilati ketiga jarinya itu. (HR Muslim)
Ketika pertama kali membayangkan cara makan dengan menggunakan tiga jari itu, mungkin kita akan merasa bahwa hal itu tidak mungkin kita lakukan apalagi jika harus menjilatnya.
Sebagian orang yang bergaya hidup mewah tidak suka menjilat jari-jarinya karena menurutnya, dia merasa jijik dengan perbuatan tersebut. Padahal jika kita telah mencobanya sekali saja, lalu kita benar-benar melakukannya dengan seksama, kita akan terkagum-kagum dan merasa bingung dengan apa yang kita lakukan.
Rasulullah selalu makan menggunakan tiga jari, karena saat itu tidak menemukan hal lain selain jari yang dapat dipastikan bersih sehingga dapat dipergunakan untuk makan. Kemudian Rasulullah menjilat jari-jari karena menurutnya kita tidak tahu di bagian mana dari makanan kita yang mengandung berkah. Dengan demikian makan dengan tiga jari dan menjilatnya merupakan upaya mengikuti sunnah Rasul dan bernilai ibadah.
Tetapi Apakah tidak boleh dengan empat atau lima jari? Sebenarnya tidak harus menggunakan tiga jari saja. Makan menggunakan lebih dari tiga jari diperbolehkan jika makanan itu mengandung kuah atau sejenisnya yang tidak mungkin dimakan dengan tiga jari.
Lalu apa hikmah dari makan menggunakan jari tangan? Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddinnya, menjelaskan, “Aktifitas makan itu dapat dilihat dari 4 sisi, yaitu makan dengan menggunakan satu jari dapat menghindarkan seseorang dari sifat marah, dengan dua jari akan menghindarkan dari sifat sombong, makan dengan tiga jari akan menghindarkan dari sifat lupa dan makan dengan menggunakan empat atau lima jari dapat menghindarkan dari sifat rakus.
kemudian mengapa Rasulullah menggunakan tiga jari? sesungguhnya makan menggunakan tiga jari akan membuat setiap orang dapat mengukur porsi makanan yang cocok bagi dirinya.
Ia juga dapat menjadikan setiap suap yang masuk ke dalam mulut dapat dikunyah dan bercampur dengan air liur dengan baik sehingga kita tidak akan mengalami gangguan pencernaan.
Allahumma Sholli ’ala Muhammad wa ‘ala alii Muhammad.
Sumber : Inilah Makanan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Prof.Dr.’Abdul Busith Muhammad as- sayyid. Baca selengkapnya..
Hal tersebut diatas sesuai tertuang dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam "jika satu suap makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah, lalu bersihkan kotorannya, jangan biarkan untuk setan. Jangan membersihkan tangannya dengan sapu tangan, namun jilatlah jari-jarinya karena dia tidak mengetahui bagian mana dari makanannya yang mengandung keberkahan. (HR Muslim).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam selalu makan dengan ketiga jarinya. Setelah selesai makan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun akan menjilati ketiga jarinya itu. (HR Muslim)
Ketika pertama kali membayangkan cara makan dengan menggunakan tiga jari itu, mungkin kita akan merasa bahwa hal itu tidak mungkin kita lakukan apalagi jika harus menjilatnya.
Sebagian orang yang bergaya hidup mewah tidak suka menjilat jari-jarinya karena menurutnya, dia merasa jijik dengan perbuatan tersebut. Padahal jika kita telah mencobanya sekali saja, lalu kita benar-benar melakukannya dengan seksama, kita akan terkagum-kagum dan merasa bingung dengan apa yang kita lakukan.
Rasulullah selalu makan menggunakan tiga jari, karena saat itu tidak menemukan hal lain selain jari yang dapat dipastikan bersih sehingga dapat dipergunakan untuk makan. Kemudian Rasulullah menjilat jari-jari karena menurutnya kita tidak tahu di bagian mana dari makanan kita yang mengandung berkah. Dengan demikian makan dengan tiga jari dan menjilatnya merupakan upaya mengikuti sunnah Rasul dan bernilai ibadah.
Tetapi Apakah tidak boleh dengan empat atau lima jari? Sebenarnya tidak harus menggunakan tiga jari saja. Makan menggunakan lebih dari tiga jari diperbolehkan jika makanan itu mengandung kuah atau sejenisnya yang tidak mungkin dimakan dengan tiga jari.
Lalu apa hikmah dari makan menggunakan jari tangan? Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddinnya, menjelaskan, “Aktifitas makan itu dapat dilihat dari 4 sisi, yaitu makan dengan menggunakan satu jari dapat menghindarkan seseorang dari sifat marah, dengan dua jari akan menghindarkan dari sifat sombong, makan dengan tiga jari akan menghindarkan dari sifat lupa dan makan dengan menggunakan empat atau lima jari dapat menghindarkan dari sifat rakus.
kemudian mengapa Rasulullah menggunakan tiga jari? sesungguhnya makan menggunakan tiga jari akan membuat setiap orang dapat mengukur porsi makanan yang cocok bagi dirinya.
Ia juga dapat menjadikan setiap suap yang masuk ke dalam mulut dapat dikunyah dan bercampur dengan air liur dengan baik sehingga kita tidak akan mengalami gangguan pencernaan.
Allahumma Sholli ’ala Muhammad wa ‘ala alii Muhammad.
Sumber : Inilah Makanan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Prof.Dr.’Abdul Busith Muhammad as- sayyid. Baca selengkapnya..
Langganan:
Postingan (Atom)