• "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." ( QS. At-Tahrim: 6)

  • "Famaa dzaa a'dal haqqi illadhdholaal". “ Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.”(Yunus:32)

Rabu, 21 Oktober 2009

Anak Angkat Dalam Islam

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu

Tanya:

Bolehkah menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat dalam keluarga kita di mana kita menganggapnya seperti anak sendiri? Lalu bagaimana hijab dengannya bila si anak sudah baligh?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau:

Dahulu di jaman jahiliah, orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat mereka seperti anak mereka yang hakiki atau seperti anak kandung dari segala sisi; dalam hal warisan, dalam hal bolehnya anak angkat tersebut berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri mereka, dan dianggapnya istri mereka sebagai mahram bagi anak angkat tersebut.

Adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat. Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:

1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya):

“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)

Dalam ayat-ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan bahwa ucapan seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya). Bahkan tidaklah mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi selain ayahnya. Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang lelaki tidaklah mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang lain, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung 1). Dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban anak-anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka adalah saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.

2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan di atas 2). Juga disebutkan bahwa dalam perkara anak angkat, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat (yang artinya):

“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya 3).” (An-Nisa’: 33)

Ibnu Jarir rahimahullahu mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu yang menyatakan, “Ayat ini hanyalah turun terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam perkara mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat 4), sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan dzawil arham 5) dan ‘ashabah 6). Allah ‘Azza wa Jalla meniadakan adanya hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat tersebut dalam bentuk wasiat.” 7)

3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya. Hal ini tampak dengan Allah ‘Azza wa Jalla menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang dulunya merupakan anak angkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang hal tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan hikmah dari kejadian tersebut dengan firman-Nya:

“Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:

“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)

Berarti dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri anak-anak angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka telah bercerai).

4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab)….”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)

5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku, yaitu:

“Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”

Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: "Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”

Dalam hadits yang shahih dinyatakan:

“Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan ia tahu orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.” 8)

Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan berikut ini:

Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jumrah sampai matahari terbit.” 9)

Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.

Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat." 10)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 889-891)

Catatan kaki:

1) Awal ayat di atas berbunyi:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/jantung dalam rongganya….” (Al-Ahzab: 4)
2) Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab:
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin….”
3) Awal ayat ini adalah:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
4) Wasiat di sini tidak lebih dari 1/3 harta si mayit.
5) Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan. Ahli waris terbagi dua:
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
6) ‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak mendapat semua harta si mayit.
7) Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57.
8) HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217.
9) Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
10) Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.

(Sumber: Majalah Asy Syariah vol. iv/no. 46/1429H/2008M, hal. 86-89)
Baca selengkapnya..

Selasa, 06 Oktober 2009

Hukum Penyingkatan Dengan Kata "ASS, WR.WB, SAW, SWT"

Banyak saudara kita yang menulis ucapan salam, ucapan sholawat dan asma Allah dengan singkatan, baik itu di commet-commet, di sms, dll. Kita tahu bahwa menulis tidaklah beda dengan kita berbicara kepada orang lain, yang mana disitu ada malaikat yang senantiasa mencatat perbuatan tersebut.

Sekecil apapun perbuatan itu pasti ada nilainya disisi Allah, dan sesungguhnya amal ibadah seseorang itu tergantung dari keikhlasan masing-masing individu, kalaulah kita hendak bersholawat, hendaknya menuliskannya dengan lengkap (tidak dengan menyingkatnya), sebagai bukti keikhlasan kita dalam mengamalkannya.

insya Allah dengan membiasakan ini amalan kita akan menjadi sempurna, Inilah adab kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus kita perhatikan. Berikut adalah fatwa-fatwa ulama seputar masalah penyingkatan kata:

Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan wrwb islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Diterjemahkan dari www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:
Bolehkah menulis huruf SAW yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., - Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)

Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW dengan maksud singkatan dari salallahu 'alaihi wassalam ?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah, menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipat gandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:

“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.” [HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau slm1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:

“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.

Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat

Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.

Sumber rujukan:
http://bakkah.net/interactive/q&a/aawa004.htm
http://bakkah.net/articles/SAWS.htm
http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm
http://rosyidi.com/fatwa-larangan-penyingkatan-salam-dan-shalawat/

Kesimpulan:
Kita tidak boleh menyingkat salam dengan cara apapun, misalnya "assalaamu'alaykum wr.Wb.", menyingkat sholawat seperti SAW atau menyingkat lafadz dengan SWT. Alasannya seperti yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama diatas karena didalamnya ada bentuk do'a dan pengagungan kepada Allah yang telah disyari'atkan, Misal ada orang menyingkat "Allah SWT" berarti dia telah menyelisihi bentuk pengagungan yang telah di syari'atkan, hendaknya dia menulis "Allah Subhanallahu wa ta'ala". Ada juga yang menuliskan ALLAH dengan huruf "4JJ1", tidak boleh kita menulis seperti ini karena "4JJ1" telah diselewengkan maknanya menjadi "For Judas Jesus Isa Al-Masih". Maha suci Allah dari ucapan seperti ini.

Firman Allah subhannallahuwa ta'ala (yang artinya):
"Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." (An Nisaa': 86).

Berikut ucapan salam dan keutamaannya yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam:

“Telah datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wassalam dan berkata, ‘Assalamualaikum’. Maka Rasulullah menjawab salam kemudian dia duduk. Maka Rasulullah berkata sepuluh pahala kemudian datang yang lain memberi salam dengan berkata ‘Assalamualaikum warahmatullah’, lalu Rasulullah menjawab salam tadi, dan berkata dua puluh pahala. Kemudian datang yang ketiga terus berkata ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Rasulullah pun menjawab salam tadi dan terus duduk, maka Rasulullah berkata tiga puluh pahala. (Hadits Hasan :Riwayat Abu Daud Tarmizi)

Semoga bermanfaat, Wallahu Ta'ala a'lam bissowab
-Abu Ahmed- Baca selengkapnya..