• "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." ( QS. At-Tahrim: 6)

  • "Famaa dzaa a'dal haqqi illadhdholaal". “ Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.”(Yunus:32)

Minggu, 09 Mei 2010

Kajian Audio

Ust. Abdul Hakim Bin Amir Abdat
  • Download / Cara Duduk Akhir Pada Sholat Dua Rokaat
Ust. Yasid Jawas

Ust. Halim Naro

  • Download /Apakah ada sholat tahajjud setelah melakukan sholat tarawih?
  • Download / Bagaimanakah tata cara zakat fitri yg sesuai sunnah?
  • Download / Bagaimana cara agar semangat berpuasa
  • Download / Apakah sama sholat fajar dan sholat sebelum shubuh

Baca selengkapnya..

Abdul Hakim Amir Abdat - Apakah Makmum Membaca Al-Fatihah Setelah Imam Membaca Al-Fatihah

Silahkan Download Baca selengkapnya..

Sabtu, 24 April 2010

Taqlid dan Fanatisme Golongan

“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.

Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.

Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhsuburkan taqlid.

Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.

Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbagai kebid’ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’un.

Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.

Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf: 12)

Definisi Taqlid

Taqlid secara bahasa diambil dari kata () yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.

Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.

Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.”

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)

Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’.” (Al-Anbiya’: 52-53)

Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)

Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas.

Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.

Al-‘Allamah Al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari hal itu.

Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)

Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar bacaan:
1 Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr
2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi
4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani
5 Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki
6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani
7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi
8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm
9 Al-Ihkam, Al-Amidi

www.asysyariah.com Baca selengkapnya..

DO’A AGAR ANAK MENJADI SHOLEH

Kita telah mengetahui bahwa hidayah dan taufik semata-mata dari Allah dan kita hanya bisa berusaha dan berusaha, namun namanya hidayah tetap kita serahkan pada-Nya.

Tidak usah jauh-jauh, cobalah kita perhatikan nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu para nabi. Lihatlah bagaimana kehidupan beliau. Perhatikanlah bahwa di waktu kecil saja, beliau dalam keadaan yatim, sudah ditinggalkan ibu bapaknya. Beliau tumbuh dalam keadaan fakir, lalu siapakah yang selalu menjaganya? Siapakah yang menumbuhkan keimanannya? Siapakah yang mewahyukan kitab suci Al Qur’an padanya? Dialah Allah subhanahu wa ta’ala, segala kenikmatan adalah dari-Nya, segala kemuliaan dan sanjungan berhak ditujukan pada-Nya.

Jika kita telah mengetahui hal ini, yakin bahwa yang memberi hidayah adalah Allah dan yakin pula bahwa setiap penjagaan adalah dari-Nya, maka hendaklah kita memanjatkan do’a pada-Nya agar anak dan keturunan kita menjadi sholeh dan baik. Mintalah pada-Nya agar keturunan kita senantiasa mendapat berkah, juga selamat dari berbagai bahaya dan kejelekan. Mintalah pada Allah, semoga mereka senantiasa mendapatkan perlindungan dari gangguan setan, manusia jahat, dan jin. Inilah kebiasaan orang sholih yang sebaiknya kita tiru.

Do’a Untuk Memperbaiki Keturunan

Do’a Pertama

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

ROBBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WA DZURRIYATINA QURROTA A’YUN, WAJ’ALNA LILMUTTAQINA IMAMAA.” (Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqon:74)

Do’a Kedua

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

ROBBI AWZI’NI AN ASYKURO NI’MATAKALLATI AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOLIHAN TARDHOH, WA ASHLIH LII FI DZURRIYATIY” (Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku) (QS. Al Ahqof:15)

Semoga kita bisa mengamalkan do’a yang mudah dihafalkan ini. Semoga kita tidak jemu untuk selalu memanjatkan do’a kepada-Nya. Allah tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu dia pulang dengan tangan hampa.

Disusun di gunung kidul, 3 dzulqo’dah 1429

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Baca selengkapnya..

Minggu, 18 April 2010

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.
2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.
12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
14. Berbakti kepada kedua orang tua.
15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).

Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini)

Baca selengkapnya..

Selasa, 02 Februari 2010

Bagaimana Beriman kepada Kitab Allah?

Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim. Bagaimana beriman kepada kitab Allah? Simak pembahasan berikut. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menunjukkan kepada kita aqidah yang lurus.

Urgensi Iman kepada Kitab Allah

Iman kepada kitab yang Allah turunkan merupakan salah satu ushul (landasan) iman dan merupakan rukun iman yang enam. Iman yang dimaksud adalah pembenaran yang disertai keyakinan bahwa kitab-kitab Allah haq dan benar. Kitab-kitab tersebut merupakan kalam Allah ‘Azza wa jalla yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya kepada umat yang turun kepadanya kitab tersebut. Diturunkanya kitab merupakan di antara bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya karena besarnya kebutuhan hamba terhadap kitab Allah. Akal manusia terbatas, tidak bisa meliputi rincian hal-hal yang dapat memberikan manfaat dan menimbulkan madharat bagi dirinya.

Cakupan Iman Kepada Kitab Allah

Iman kepada kitab Allah harus mencakup empat perkara :

Pertama: Mengimani bahwa turunnya kitab-kitab Allah benar-benar dari sisi Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui namanya seeprti Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam, dan Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salaam. Sedangkan yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.

Ketiga: Membenarkan berita-beritanya yang benar, seperti berita mengenai Al Quran, dan berita-berita lain yang tidak diganti atau diubah dari iktab-kitab terdahulu sebelum Al Quran.

Keempat: Mengamalkan hukum-hukumnya yang tidak dihapus, serta ridho dan tunduk menerimanya, baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak. (Syarh Ushuulil Iman, hal 30)

Kitab-Kitab Sebelum Al Quran Telah Dimansukh (Dihapus)

Seluruh kitab-kitab terdahulu telah termansukhkan (terhapus) oleh Al Quran Al ‘Adziim. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ …{48}

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaimin terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS. Al Maidah: 48). Maksud “muhaimin” adalah Al Quran sebagai haakim (yang memutuskan benar atau tidaknya, ed) apa yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Berdasarkan hal ini, maka tidak dibolehkan mengamalkan hukum apapun dari hukum-hukum kitab terdahulu, kecuali yang benar dan diakui oleh Al Quran. (Syarh Ushuulil Iman, hal 30-31)

Kitab-kitab terdahulu semuanya mansukh (dihapus) dengan turunnya Al Quran Al ‘Adziim yang telah Allah jamin keasliannya. Karena Al Quran akan tetap menjadi hujjah bagi semua makhluk sampai hari kiamat kelak. Dan sebagai konsekuensinya, tidak boleh berhukum dengan selain Al Quran dalam kondidi apapun. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ,

…فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59}

“…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa’: 59). (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul, hal 33)

Setiap Rasul Memiliki Kitab

Setiap Rasul memiliki kitab. Dalilnya dalah firman Allah,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ … {25}

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)…” (QS. Al Hadiid: 25)

Ayat ini menjadi dalil bahwa setiap rasul memiliki kitab, namun kita tidak mengetahui seluruh kitab. Kita hanya mengetahuii sebagiannya, seperti shuhuf Ibrahim dan Musa, Taurat, Zabur, Injil, dan Al Quran. Kita mengimani setiap kitab yang diturunkan kepada para rasul. Jika kita tidak mengetahuinya, maka kewajiban kita adalah beriman secara global. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, hal 40)

Sikap Manusia Terhadap Kitab yang Allah Turunkan

Manusia terbagi menjadi tiga golongan dalam menyikapi kitab samawi yang Allah turunkan:

Golongan pertama: Orang-orang yang mendustakan semuanya. Mereka adalah musuh-musuh para rasul dari kalangan orang kafir, orang musyrik, dan ahli filsafat.

Golongan kedua: Orang-orang mukmin yang beriman terhadap seluruh rasul dan kitab yang diturunkan kepada mereka. Sebagaimana Allah firmankan,

ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَآأُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ … {285}

Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya…” (QS. Al Baqoroh: 285).

Golongan ketiga: Orang-orang Yahudi dan Nashrani serta yang mengikuti jalan mereka. Mereka mengatakan,

… نُؤْمِنُ بِمَآ أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَآءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ … {91}

…Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang hak. yang membenarkan apa yang ada pada mereka,,,” (QS. Al Baqoroh: 91).

Mereka beriman terhadap sebagian kitab, namun kufur dengan sebagian yang lain. Allah berfirman tentang mereka,

… أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَاجَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيُُفيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلىَ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ {85}

… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS. Al Baqoroh:85).

Tidak ragu lagi bahwa beriman dengan sebagian kitab dan kufur dengan sebagian yang lain sama saja dengan kufur terhadap semuanya. Karena keimanan harus mencakup dengan seluruh kitab samawi dan seluruh para rasul, tidak memebdakan dan menyelisihi sebagiannya. Allah Ta’ala mencela orang-orang yang membedakan dan menyelisihi kitab, sebagaimana firman-Nya,

… وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ {176}

…dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran)” (QS. Al Baqoroh:176). (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad, hal 143-144)

Mengimani Al Quran dengan Benar

Termasuk keimanan kepada kitab Allah adalah beriman kterhadap Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Terakhir, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keimanan terhadap Al Quran yang benar sebagaimana diungkapakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab beliau al ‘Aqidah al Washitiyah. Beliau mengatakan, “ Termasuk keimanan kepada Allah dan kitab-kitab-Nya yaitu beriman bahwa Al Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Al Quran berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Alllah Ta’ala berbicara secara hakiki. Dan sesungguhnya Al Quran yang diturunkan kepada Muhammad merupakan kalam Allah yang hakiki dan bukan kalam selain-Nya. Tidak boleh memutlakkan perkataan bahwa Al Quran merupakan hikayat dari kalam Allah atau merupakan ungkapan (ibaroh) dari kalam Allah. Bahkan jika manusia membacanya dan menulisnya dalam mushaf bukan berarti menafikan bahwa Al Quran merupakan kalam Allah yang hakiki. Karena kalam hanya disandarkan secara hakiki pada yang pertama kali mengucapkannya bukan kepada yang menyampaikannya kemudian. Al Quran merupakan kalam Allah baik huruf dan maknanya, bukan hanya huruf tanpa makna atau makna tanpa huruf.” (matan al ‘Aqidah al Washitiyah)

Faedah Iman Kepada Kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah akan membuahkan faedah yang agung, di antaranya :

Pertama: Mengetahui perhatian Allah terhadap para hambanya dengan menurunkan kitab kepada setiap kaum sebagai petunjuk bagi mereka.

Kedua: Mengetahui hikmah Allah Ta’ala mengenai syariat-syariat-Nya, di mana Allah telah menurunkan syariat untuk setiap kaum yang sesuai dengan kondisi mereka, sebagaimana yang Allah firmankan,

… لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا … {48}

…Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al Maidah: 48).

Ketiga: Mensyukuri nikmat Allah berupa diturunkanya kitab-kitab(sebagai pedoman dan petunjuk, ed). (Syarh Ushuulil Iman, hal 31).

Demikianlah secara ringkas aqidah ahlussunnah tentang iman kepada kitab suci. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber Rujukan :

  1. Syarhu Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Penerbit Daarul Qasim, Cetakan pertama, 1419 H
  2. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholih Al Fauzan, Penerbit Maktabah Salsabiil, Cetakan pertama, tahun 2006.
  3. Syarhu al ‘Aaqidah al Washitiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Ulama, Penerbit Daarul Ibnul Jauzi.
  4. Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul, Syaikh Abdullah Al Fauzan, Penerbit Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan pertama, tahun 1422H/2001 M.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Poligami, Bukti Keadilan Hukum Allah

Posted: 31 Jan 2010 09:00 AM PST

Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang sempurna aturan syariatnya dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al Maaidah:3).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat/anugerah Allah Ta’ala yang terbesar bagi umat Islam, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain Islam, juga tidak kepada nabi selain nabi mereka (nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada (seluruh umat) manusia dan jin, maka tidak sesuatu yang halal kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Ta’ala), tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Dan segala sesuatu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan kebohongan padanya, Allah Ta’ala berfirman,

{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam:115). Yaitu: (kalimat) yang benar dalam semua beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.

Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini, maka (ini berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka telah sempurna. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”. Artinya: Terimalah dengan ridha agama (Islam) ini bagi dirimu, karena inilah (satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya, dan dengannya dia mengutus (kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an)[1].

Sikap Seorang Mukmin terhadap Syariat Allah

Di antara ciri utama seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}

Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzaab:36).

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً”

Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha pada Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[2].

Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam yang dirasakan tidak sesuai dengan kemauan/keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan mengingkari atau membenci hukum Allah Ta’ala tersebut, bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari agama Islam[3], na’uudzu billahi min dzaalik. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).

Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:

Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.

Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan hawa nafsunya[4].

Salah seorang ulama salaf ada yang berkata, “Setiap Allah Ta’ala memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): [1] (yaitu godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan [2] (godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya), dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil (diterapkannya kepada manusia)”[5].

Hukum Poligami dalam Islam

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[6].

Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7], atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.

Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,

{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}

Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya[8].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9]. Karena dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Ta’ala berfirman,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat[10].

Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi (dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena dia enerjik, (sehingga) dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Orang yang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya[11]”…[12].

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun (hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas masalah ini. Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3) menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu a’lam[13].

Hikmah dan Manfaat Agung Poligami

Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah[14] yang maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:

Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.

Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,

{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}

Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).

Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].

Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.

Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].

Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.

Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.

Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.

Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.

Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.

Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.

Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah Allah Ta’ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].

Arti Sikap “Adil” dalam Poligami

Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna[18]. Allah Ta’ala berfirman,

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).

Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka[19]. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya[20], yang ini jelas di luar kemampuan manusia[21].

Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala[22],

{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).

Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam[23].

Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap adil di antara para istri)[24], dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)…[25].

Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki[26]. Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[27].

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”[28].

Kecemburuan dan Cara Mengatasinya

Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).

Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik[30].

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan[31].[32]

Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:

- Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.

- Godaan setan

- Hati yang berpenyakit

- Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.

- Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.

- Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain[33].

Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:

- Bertakwa kepada Allah Ta’ala.

- Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.

- Menjauhi pergaulan yang buruk.

- Bersangka baik.

- Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).

- Selalu mengingat kematian dan hari akhirat

- Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut[34].

Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]

1. Nasehat untuk suami yang berpoligami

- Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.

- Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan mereka.

- Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan suami.

- Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui istri-istri yang lain.

- Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.

- Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.

2. Nasehat untuk istri pertama

- Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.

- Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.

- Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya berpoligami.

- Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.

- Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya akan menimpa pelakunya.

- Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan dalam hatimu.

3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi

- Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran pahala dari Allah atas semua itu.

- Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk membersihkan rumah dan merawat diri.

- Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan Allah Ta’ala dalam hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.

- Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.

- Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk perangkap setan.

- Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.

Penutup

Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Dzulqa’dah 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] Tafsir Ibnu Katsir (2/19).

[2] HSR Muslim (no. 34).

[3] Kitab “Fadhlu ta’addudiz zaujaat” (hal. 24).

[4] kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).

[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).

[6] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18).

[7] Maksudnya adil yang sesuai dengan syariat, sebagaimana yang akan kami terangkan, insya Allah.

[8] Lihat keterangan imam Ibnu Jarir dalam tafsir beliau (4/238).

[9] Sebagaimana yang diterangkan dalam bebrapa hadits yang shahih, diantaranya HR at-Tirmidzi (3/435) dan Ibnu Majah (1/628), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.

[10] Dinukil dalam majalah “al-Balaagh” (edisi no. 1028, tgl 1 Rajab 1410 H/28 Januari 1990 M).

[11] Atsar yang shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 4787).

[12] Liqaa-il baabil maftuuh (12/83).

[13] Fataawal mar’atil muslimah (2/690).

[14] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).

[15] Lihak keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari” (9/143).

[16] Majmuu’ul fataawa syaikh al-‘Utsaimiin (4/12 – kitabuz zawaaj).

[17] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 31-32).

[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447).

[19] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 69).

[20] Sebagaimana persangkaan keliru orang-orang yang tidak memahami pengertian adil yang sebenarnya.

[21] Sebagaimana penjelasan para ulama yang akan kami nukil setelah ini, insya Allah.

[22] Bahkan kesalahpahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami tidak mungkin bisa bersikap adil !!? Kita berlindung kepada Allah dari penyimpangan dalam memahami agama-Nya.

[23] Kitab “al-Umm” (5/158).

[24] Dalam kitab “shahihul Bukhari” (5/1999).

[25] Kitab “Fathul Baari” (9/313).

[26] Hadits ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2134), at-Tirmidzi (no. 1140), an-Nasa’i (no. 3943) dan Ibnu Majah (no. 1971), dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i dan syaikh al-Albani dalam “Irwa-ul ghalil” (7/82).

[27] Kitab “Tafsiirul Qurthubi” (5/387).

[28] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/747).

[29] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 136).

[30] Ibid.

[31] HR an-Nasa’i (no. 2558) dan Ibnu Hibban (no. 295), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.

[32] Kitab “Fathul Baari” (9/326).

[33] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 140).

[34] Ibid (hal. 141).

[35] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 143-145).

Baca selengkapnya..

Senin, 18 Januari 2010

Islam, Rahmatan Lil ‘Alamin

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.

Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.

Secara bahasa,

الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ

rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.

Penafsiran Para Ahli Tafsir

1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:

“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:

Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.

Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.

Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.

Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”

2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:

“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ’satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”

3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:

“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:

من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف

Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar

dalam riwayat yang lain:

تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل

Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu

Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:

فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة , وقد جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين . والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقه وأطاعه

Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya

Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan secara ringkas).

4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi

“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:

كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من الخسف والغرق

Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air

Ibnu Zaid berkata:

أراد بالعالمين المؤمنين خاص

Yang dimaksud ’seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”

5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir

“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:

إنما أنا رحمة مهداة

Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)

Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”

Pemahaman Yang Salah Kaprah

Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut adalah:

1. Berkasih sayang dengan orang kafir

Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)

Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.

Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.

Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.

2. Berkasih sayang dalam kemungkaran

Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.

Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.

Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.

Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه . ولا ينزع من شيء إلا شانه

Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)

3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama

Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.

Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.

Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”

Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan?

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)

Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:

إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من شهدها فكرهها كمن غاب عنها . ومن غاب عنها فرضيها ، كان كمن شهدها

Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita toleransi.

4. Menyepelekan permasalahan aqidah

Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.

Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)

Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:

نَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)

Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?

Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)

Pemahaman Yang Benar

Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:

  1. Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
  1. Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
  1. Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
  1. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
  1. Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
  1. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
  1. Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  1. Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
  1. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
  1. Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
  1. Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
  1. Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
  1. Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
  1. Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya.

Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmush shalihat..

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: www.muslim.or.id

Baca selengkapnya..